Sejarah Perkembangan Islam di Bali
masjid gelgel foto http://kampungislamgelgel.wordpress.com |
Bali merupakan salah satu kepulauan yang ada di Indonesia
dan sebagai salah satu tempat parawisata yang sangat populer. Agama mayoritas
yang terdapat di bali adalah agama hindu dengan kebudayaan yang masih sangat
kental. Islam di bali merupakan agama minoritas dan kali ini akan kita simak
bagaimana sejarah perkembangan islam di bali.
Menurut Yudhis M Burhanuddin (2008), ada tiga fase
masuknya Islam di Bali yaitu :
1. Fase pertama terjadi pada masa-masa Kerajaan Bali
misalnya, pada masa-masa awal datangnya utusan Majapahit yang terus berlangsung
pada masa pemerintahan Dalem Kresna Kepakisan sampai ke masa pemerintahan Dalem
Waturenggong dan sesudahnya. Selain itu, kontak budaya pada masa-masa Kerajaan
sesudah Kerajaan Klungkung pun masih terus terjadi misalnya, pada periode Kerajaan
Badung.
2. Fase kedua terjadi pada masa-masa kolonial Belanda.
3. Fase ketiga, terjadi pada masa-masa setelah kemerdekaan
sampai booming-nya sektor pariwisata hingga sekarang ini.
Dari ketiga fase tersebut fase pertamalah yang telah saya
rangkum dari beberapa sumber
Sejarah Masuknya
Islam di Bali
Masuknya agama Islam ke Bali dimulai sejak jaman kerajaan
pada abad XIV berasal dari sejumlah daerah di Indonesia, tidak merupakan
satu-kesatuan yang utuh atau berkelompok-kelompok. “Sejarah masuknya Islam ke Pulau
Dewata dengan latar belakang sendiri dari masing-masing komunitas Islam yang
kini ada di Bali, Penyebaran agama Islam ke Bali antara lain berasal dari Jawa,
Madura, Lombok dan Bugis. Masuknya Islam pertama kali ke Pulau Dewata lewat
pusat pemerintahan jaman kekuasaan Raja Dalem Waturenggong yang berpusat di
Klungkung pada abad ke XIV.
Raja Dalem Waturenggong yang berkuasa selama kurun waktu
1480-1550, ketika berkunjung ke Kerajaan Majapahit di Jawa Timur dan sekembalinya
beliau diantar oleh 40 orang pengawal yang beragama Islam. Ke-40 pengawal
tersebut akhirnya diizinkan menetap di Bali, tanpa mendirikan kerajaan
tersendiri seperti halnya kerajaan Islam di pantai utara Pulau Jawa pada masa
kejayaan Majapahit. Para pengawal muslim itu hanya bertindak sebagai abdi
dalam kerajaan Gelgel menempati satu pemukiman dan membangun sebuah masjid yang
diberi nama Masjid Gelgel, yang kini merupakan tempat ibadah umat Islam tertua
di Pulau Dewata.
H. Mulyono, mantan asisten sekretaris daerah Bali itu
menambahkan, hal yang sama juga terjadi pada komunitas muslim yang tersebar di
Banjar Saren Jawa di wilayah Desa Budakeling, Kabupaten Karangasem, Kepaon,
kelurahan Serangan (Kota Denpasar), Pegayaman (Buleleng) dan Loloan
(Jembrana). Masing-masing komunitas itu membutuhkan waktu yang cukup
panjang untuk menjadi satu kesatuan muslim yang utuh. Demikian pula dalam
pembangunan masjid sejak abad XIV hingga sekarang mengalami akulturasi dengan
unsur arsitektur tradisional Bali atau menyerupai stil wantilan.
Akulturasi dua unsur seni yang diwujudkan dalam pembangunan masjid menjadikan tempat suci umat Islam di di Bali tampak beda dengan bangunan masjid di Jawa maupun daerah lainnya di Indonesia. “Akulturasi unsur Islam-Hindu yang terjadi ratusan tahun silam memunculkan ciri khas tersendiri, unik dan menarik,” tutur Haji Mulyono.
Tengoklah desa-desa muslim yang ada di Bali, seperti Pegayaman (Buleleng), Palasari, Loloan dan Yeh Sumbul (Jembrana) dan Nyuling (Karangasem). Atau, kampung muslim di Kepaon Kota Denpasar.
Kehidupan di sana tak ubahnya seperti kehidupan di Bali pada umumnya. Yang membedakan hanya tempat ibadah saja. Bahkan di Desa Pegayaman, karena letaknya di pegunungan dan tergolong masih agraris, semua simbol-simbol adat Bali seperti subak, seka, banjar, dipelihara dengan baik. Begitu pula nama-nama anak mereka, Wayan, Nyoman, Nengah, Ketut tetap diberikan sebagai kata depan yang khas Bali.
Penduduk kampung ini konon berasal dari para prajurit Jawa atau kawula asal Sasak dan Bugis beragama Islam yang dibawa oleh para Raja Buleleng, Badung dan Karangasem pada zaman kerajaan Bali.
Orang-orang muslim di Kepaon adalah keturunan para prajurit asal Bugis. Kampung yang mereka tempati sekarang merupakan hadiah raja Pemecutan. Bahkan, hubungan warga muslim Kepaon dengan lingkungan puri (istana) hingga sekarang masih terjalin baik.
Beberapa gesekan pernah terjadi diantara warga muslim Kepaon dengan warga asli bali , Raja Pemecutan turun tangan membela mereka. “Mereka cukup disegani. Bahkan, jika ada masalah-masalah dengan komunitas lain, Raja Pemecutan membelanya,” ujar Shobib, aktivis Mesjid An Nur.
Di Denpasar, komunitas muslim dapat dijumpai di Kampung Islam Kepaon, Pulau Serangan dan Kampung Jawa. mayoritas Kampung Kepaon dan Serangan dihuni warga keturunan Bugis.
Akulturasi dua unsur seni yang diwujudkan dalam pembangunan masjid menjadikan tempat suci umat Islam di di Bali tampak beda dengan bangunan masjid di Jawa maupun daerah lainnya di Indonesia. “Akulturasi unsur Islam-Hindu yang terjadi ratusan tahun silam memunculkan ciri khas tersendiri, unik dan menarik,” tutur Haji Mulyono.
Tengoklah desa-desa muslim yang ada di Bali, seperti Pegayaman (Buleleng), Palasari, Loloan dan Yeh Sumbul (Jembrana) dan Nyuling (Karangasem). Atau, kampung muslim di Kepaon Kota Denpasar.
Kehidupan di sana tak ubahnya seperti kehidupan di Bali pada umumnya. Yang membedakan hanya tempat ibadah saja. Bahkan di Desa Pegayaman, karena letaknya di pegunungan dan tergolong masih agraris, semua simbol-simbol adat Bali seperti subak, seka, banjar, dipelihara dengan baik. Begitu pula nama-nama anak mereka, Wayan, Nyoman, Nengah, Ketut tetap diberikan sebagai kata depan yang khas Bali.
Penduduk kampung ini konon berasal dari para prajurit Jawa atau kawula asal Sasak dan Bugis beragama Islam yang dibawa oleh para Raja Buleleng, Badung dan Karangasem pada zaman kerajaan Bali.
Orang-orang muslim di Kepaon adalah keturunan para prajurit asal Bugis. Kampung yang mereka tempati sekarang merupakan hadiah raja Pemecutan. Bahkan, hubungan warga muslim Kepaon dengan lingkungan puri (istana) hingga sekarang masih terjalin baik.
Beberapa gesekan pernah terjadi diantara warga muslim Kepaon dengan warga asli bali , Raja Pemecutan turun tangan membela mereka. “Mereka cukup disegani. Bahkan, jika ada masalah-masalah dengan komunitas lain, Raja Pemecutan membelanya,” ujar Shobib, aktivis Mesjid An Nur.
Di Denpasar, komunitas muslim dapat dijumpai di Kampung Islam Kepaon, Pulau Serangan dan Kampung Jawa. mayoritas Kampung Kepaon dan Serangan dihuni warga keturunan Bugis.
Konon, nenek moyang mereka adalah para nelayan yang
terdampar di Bali. Ketika terjadi perang antara Kerajaan Badung dengan Mengwi,
mereka dijadikan prajurit. Setelah mendapat kemenangan, kemudian diberi tanah
oleh sang Raja.
Keberadaan ummat islam yang sudah ratusan tahun di bali sedikit banyak memberikan ciri khas tersendiri, misalnya sebagian warga muslim menambahkan nama khas Bali pada anak-anak mereka seperti Wayan, Made, Nyoman dan Ketut, jadi tidaklah sesuatu yang ganjil apabila kita menemukan nama seperti Wayan Abdullah, atau Ketut Muhammad misalnya. Tetapi ini hanya dalam tataran budaya. Untuk idiom-idiom yang menyangkut agama, mereka tidak mau kompromi. mereka tetap menjaga nilai-nilai syari'at islam secara utuh.
Keberadaan ummat islam yang sudah ratusan tahun di bali sedikit banyak memberikan ciri khas tersendiri, misalnya sebagian warga muslim menambahkan nama khas Bali pada anak-anak mereka seperti Wayan, Made, Nyoman dan Ketut, jadi tidaklah sesuatu yang ganjil apabila kita menemukan nama seperti Wayan Abdullah, atau Ketut Muhammad misalnya. Tetapi ini hanya dalam tataran budaya. Untuk idiom-idiom yang menyangkut agama, mereka tidak mau kompromi. mereka tetap menjaga nilai-nilai syari'at islam secara utuh.
Gelombang Muslim yang terjadi saat Belanda (VOC) berhasil
menguasai Makassar pada tahun 1667 M. di bawah tekanan Belanda, penduduk
Makassar banyak melarikan diri meninggalkan pulau Sulawesi. Salah satu tujuan
pelarian adalah pulau Bali. Etnis Bugis tersebut mendarat pertama kali di Air
Kuning, yang saat itu masih jarang penduduknya. Hingga pada akhirnya, atas ijin
dari Penguasa kerajaan Jembrana kala itu I Gusti Ngurah Pancoran, jadilah Air
Kuning sebagai perkampungan Islam pertama di Jembrana. Baru kemudian pada
sekitar abad ke 18 M datang rombongan Muslim melayu pontianak yang dipimpin
Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qodary, yang nantinya menjadi cikal bakal
keberadaan kampung Islam Loloan.
Dalam gelombang selanjutnya, pasca kemerdekaan seiring
dengan pesatnya kemajuan industri pariwisata, banyak penduduk Muslim Jawa,
Madura dan Lombok, yang mengadu nasib ke pulau Bali ini. ini terjadi karena
minimnya lapangan pekerjaan di daerah asal, yang pada tahun-tahun berikutnya
sampai saat ini, terus mengalami peningkatan penduduk pendatang Muslim dari
berbagai daerah di Indonesia.
Dulunya, kontak budaya fase pertama dan fase kedua tidak
terlalu menjadi persoalan. Ini tentu berbagai faktor diantaranya ruang-ruang
yang ada, baik sosial-politik maupun ekonomi masih lapang. Akan tetapi, dalam
atmosfir kontak etnik-kultur dan religi fase ketiga ini persoalan struktural
(sosial-politik dan ekonomi) menjadi penting. Sedikit banyaknya, semua ini
memicu reaksi (sebagian) orang Bali. (Yudhis M Burhanuddin, 2008)
Karantinaisasai
Berbeda dengan perkembangan masuknya Islam di jawa, yang
sejak awal motif kedatangan Islam di jawa memang dakwah untuk Islamisasi, para
pendakwahnya yang dikenal dengan sebutan Walisongo. Walisongo merupakan istilah
bagi perkumpulan Dewan para Ulama terkemuka saat itu, yang dengan perlahan
namun pasti, dapat melakukan Islmisasi dengan rapi dan terorganisir. Sehingga
dalam bentangan waktu yang relatif tidak terlalu lama, pulau Jawa dapat
diIslamkan secara menyeluruh. Cara yang ditempuh para Walisongo dengan dua
cara, gerakan kultural dan gerakan politik.
Di bali, penyebaran Islam tidak terorganisir layaknya di
Jawa. Keberadaan Islam di Bali, para tokoh-tokoh Muslim kala itu tidak pernah
melakukan komunikasi antar daerah. Semisal tokoh Muslim yang ada di Jembrana
tidak pernah melakukan komunikasi dengan Muslim di Buleleng, Badung,
Karangasem, dan kantong-kantong Muslim seluruh Bali. Hal inilah yang mungkin
bagi keberadaan Islam di Bali, yang telah ratusan tahun ada di Bali, tidak
mengalami perkembangan yang signifikan. Salah satu sebabnya karena penyebaran
Islam di Bali hanya menggunakan satu cara, yakni dengan penyebaran Islam secara
kultural.
Para Penguasa di berbagai kerajaan di Bali saat itu
menerapkan politik Karantinaisasi bagi penduduk Islam. Ada beberapa alasan
kenapa Raja-Raja menerapkan politik karantinaisasi, yakni: pertama,
mencegah timbulnya konflik antara orang Islam dan orang Bali yang disebabkan
oleh latar belakang perbedaan Agama dan kebudayaan. Kedua, meminimalisir
kemungkinan adanya Islamisasi yang dilakukan oleh orang Islam terhadap orang
Bali. Ketiga, memberikan rasa aman secara sosiologis, kultural, keagamaan, dan
psikologis sebab dalam perkampungan yang berpola karantinaisasi mereka dapat
mengembangkan identitasnya secara bebas tanpa didominasi maupun dihegomoni oleh
etnik Bali. Keempat, etnik Bali Hindu yang ada di sekitarnya bisa
mempertahankan identitasnya, tanpa ada perasaan dirongrong oleh orang Islam.
(Nengah Bawa Atmajda, 2010)
Secara tidak langsung, dengan penerapan politik
karantinaisasi, benturan konflik antar agama dapat dihindari, sehingga muncul
istilah Nyamaslam, sebutan orang Hindu Bali kepada penduduk Islam, yang
menganggap orang Islam adalah saudara, bukan musuh
Sumber :
http://sejarah.kompasiana.com/2013/03/02/islamisasi-di-bali-533474.html
http://wargamuslimsahatabali.blogspot.com/2011/10/masuknya-islam-ke-pulau-bali-sejarah.html
Assalamualaikum. Musyawarah para penyebar Islam atau Dai seluruh Indonesia harus segera dikordinasi oleh MUI PUSAT Jakarta, agar Islam mampu tersyiar dengan hati ke hati ummat di Indonesia ini. Aamiiin Wassalamualaikum.
ReplyDelete