Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Bulungan Kalimantan Timur
Kerabat Kesultanan Bulungan (foto:wikipedia) |
Kesultanan Bulungan didirikan pada tahun 1731. Raja pertama adalah Wira Amir yang bergelar Amiril Mukminin (1731–1777), dan Raja yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras yang bergelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1958).
Awalnya negeri Bulungan merupakan bekas daerah milik "negara Berau" yang telah memisahkan diri sehingga dalam perjanjian Kesultanan Banjar dengan VOC-Belanda dianggap sebagai bagian dari "negara Berau" (Berau bekas vazal Banjar). Namun kenyataannya sampai tahun 1850, wilayah Bulungan berada di bawah dominasi Kesultanan Sulu.
Sejarah Kerajaan Bulungan
Sejarah berdirinya kerajaan Bulungan dikisahkan dalam sebuah legenda lisan yang telah diceritakan secara turun temurun. Dan menurut yang empunya cerita legenda ini merupakan suatu kejadian yang benar-benar terjadi. Namun karena legenda ini tidak ada dalam bentuk tulisan sehingga sering kali mengalami distorsi yang membuat jauh berbeda dengan kisah aslinya. Bulungan, berasal dari perkataan Bulu Tengon (Bahasa Bulungan), yang artinya bambu betulan yang diambil dari legenda sejarah Bulungan. Karena adanya perubahan dialek bahasa Melayu maka berubah menjadi “Bulungan”.
Legenda tersebut berawal dari cerita seorang yang bernama Kuwanyi. Ia adalah pemimpin suku bangsa Dayak Hupan (Dayak Kayan) karena tinggal di hilir Sungai Kayan. Awalnya mendiami sebuah perkampungan kecil dengan penghuni kurang lebih 80 jiwa di tepi Sungai Payang, cabang Sungai Pujungan. Karena kehidupan penduduk sehari-hari kurang baik, maka mereka pindah ke hilir sebuah sungai besar yang bernama Sungai Kayan.
Diceritakan saat Kuwanyi pergi berburu ke hutan ia tidak mendapatkan hewan buruannya kecuali seruas bambu besar yang disebut bambu betung dan sebutir telur yang terletak di atas tunggul kayu Jemlay. Kedua benda yang didapatnya tersebut dibawah pulang ke rumah. Lalu Kuwanyi dan istrinya terkejut ketika bambu itu keluar seorang anak laki-laki dan telur yang dipecahkan ke luar seorang anak perempuan. Karena kemunculan bayi tersebut yang aneh, mereka menganggap bahwa bayi ini adalah karunia pada dewa. Anak-anak tersebut diberi nama Jauwiru yang laki-laki dan perempuan diberi nama Lemlai Suri.
Dalam perjalanan sejarah keturunan Jauwiru dan Lemlai Suri, lahirlah kesultanan Bulungan. Setelah Kuwanyi wafat maka Jauwiru menggantikan kedudukan sebagai ketua suku bangsa Dayak (Hupan). Kemudian Jauwiru mempunyai seorang putera bernama Paran Anyi.
Perubahan Kerajaan Menjadi Kesultanan
Sejak pemerintahan Datuk Mencang inilah timbulnya kerajaan Bulungan. Datuk Mencang adalah salah seorang putera Raja Brunei di Kalimantan Utara yang telah mempunyai bentuk pemerintahan teratur. Datuk Mencang berlabuh di muara sungai Kayan Karena kehabisan persediaan air minum. Dengan sebuah perahu kecil Datuk Mencang dan Datuk Tantalani menyusuri sungai Kayan mencari air tawar, tetapi suku bangsa Kayan sudah siap menghadang kedatangan mereka. Mujur pihak Datuk Mencang dan Datuk Tantalani cukup bijaksana dapat mengatasi keadaan dan berhasil mengadakan perdamaian dengan penduduk asli sungai Kayan. Dari hasil perdamaian ini akhirnya Datuk Mencang kawin dengan Asung Luwan, salah seorang puteri keturunan Jauwiru.
Menurut legenda, lamaran Datuk Mencang atas Asung Luwan ditolak, kecuali Pangeran dari Brunei itu sanggup mempersembahkan mas kawin berupa kepala Sumbang Lawing, pembunuh Sadang, kakaknya. Melalui perjuangan, ketangkasan dan kecerdasan, akhirnya Datuk Mencang dapat mengalahkan Sumbang Lawing. Perang tanding dilakukan dengan uji ketangkasan membelah jeruk yang bergerak dengan senjata. Datuk Mencang lebih unggul dan meme-nangkan uji ketangkasan tersebut.
Setelah Asung Luwan menikah dengan datuk Mencang (1555-1594), berakhirlah masa pemerintahan di daerah Bulungan yang dipimpin oleh Kepala Adat/Suku, karena sejak Datuk Mencang memimpin daerah Bulungan, pemimpinnya disebut sebagai Kesatria/Wira.
Sultan Bulungan
Berikut ini adalah daftar nama Sultan yang pernah memimpin Kesultanan Bulungan
- Masa Pemerintahan Yang Dipimpin Oleh Seorang Kesatria/Wira
- Datuk Mencang (Seorang bangsawan dari Brunei), beristrikan Asung Luwan(1555-1594)
- Singa Laut, Menantu dari Datuk Mencang (1594-1618)
- Wira Kelana, Putera Singa Laut (1618-1640)
- Wira Keranda, Putera Wira Kelana (1640-1695)
- Wira Digendung, putra Wira Keranda (1695-1731)
- Wira Amir, Putera Wira Digendung Gelar Sultan Amiril Mukminin (1731-1777)
- Masa Pemerintahan Yang Dipimpin Oleh Seorang Sultan
- Aji Muhammad/Sultan Alimuddin bin Muhammad Zainul Abidin/Sultan Amiril Mukminin/Wira Amir (1777-1817)
- Muhammad Alimuddin Amirul Muminin Kahharuddin I bin Sultan Alimuddin (jabatan ke-1) (1817-1861)
- Muhammad Jalaluddin bin Muhammad Alimuddin (1861-1866)
- Muhammad Alimuddin Amirul Muminin Kahharuddin I bin Sultan Alimuddin (jabatan ke-2) (1866-1873)
- Muhammad Khalifatul Adil bin Maoelanna (1873-1875)
- Muhammad Kahharuddin II bin Maharaja Lela (1875-1889)
- Sultan Azimuddin bin Sultan Amiril Kaharuddin (1889-1899).
- Pengian Kesuma (1899-1901). Ia adalah istri Sultan Azimuddin.
- Sultan Kasimuddin
- Datu Mansyur (1925-1930), Pemangku jabatan sultan
- Maulana Ahmad Sulaimanuddin (1930-1931) menikah dengan Tengku Lailan Syafinah binti alm. Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat Shah (Sultan Langkat)
- Maulana Muhammad Jalaluddin (1931-1958)
Masa Penjajahan
Masuknya penjajah Belanda ke Indonesia juga berdampak pada Kesultanan Bulungan. Belanda saat itu menaklukkan Berau pada tahun 1834, dan Kutai pada tahun 1848 kemudian terhadap Bulungan yang ditandai dengan datanganinya kontrak politik antara Sultan Bulungan dengan Belanda pada tahun 1850. Sampai tahun 1850, Bulungan berada di bawah Kesultanan Sulu. Dan pada tahun 1853, Bulungan sudah dimasukkan dalam wilayah pengaruh Belanda. Pengaruh kesultanan Sulu berakhir pada 1878 dengan penandatanganan perjanjian antara Inggris dan Spanyol (Protokol Madrid 1885) yang dirancang untuk menghilangkan pengaruh Kesultanan Sulu.
Setelah Indonesia merdeka, wilayah Bulungan menerima status sebagai Wilayah Swapraja Bulungan atau "wilayah otonom" di Republik Indonesia pada tahun 1950, yaitu Daerah Istimewa setingkat kabupaten pada tahun 1955. Sultan terakhir kerajaan Bulunga, Jalaluddin akhirnya wafat pada tahun 1958 dan pada tahun 1964 kesultanan Bulungan dihapuskan secara sepihak dalam peristiwa berdarah yang dikenal sebagai Tragedi Bultiken (Bulungan, Tidung, dan Kenyah). Saat ini wilayah Kesultanan Bulungan hanya menjadi kabupaten yang sederhana.
Tragedi Bultiken
Tragedi Bultiken (Bulungan, Tidung dan Kenyah) adalah peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh tentara Indonesia yang dipimpin oleh Letnan B.Simatupang, atas perintah Pangdam IX Mulawarman saat itu yaitu Brigadir Jendral Suhario kepda para petinggi dan keluarga kerajaan Kesultanan Bulungan, serta aksi pembakaran istana Bulungan dan penjarahan serta perampasan harta benda milik Kesultanan Bulungan yang juga dilakukan oleh para tentara tersebut.
Tragedi ini terjadi pada subuh dinihari, Jumat, 3 Juli 1964. Saat itu pasukan tentara dari satuan tempur Brawijaya 517 tiba-tiba mengepung dan membakar istana Kesultanan Bulungan. Kejadian tersebut terjadi dua hari dua malam. Selama itu juga satu per satu bangsawan Bulungan diculik, ditangkap dan dibunuh. Dan pada tanggal 18 Juli 1964, istana Raja Muda dibakar, dan Raja Muda Datu Mukemat diculik dan dieksekusi dilaut antara Tarakan dan Pulau Bunyu, dengan cara dia diikat dan diberi beban batu pemberat, selanjutnya ditembak dan dibuang kelaut.
Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Bulungan diakses tanggal 20 Mei 2015
http://sugeng-arianto.blogspot.com/2009/05/tragedi-hancurnya-kesultanan-bulungan.html diakses tanggal 20 Mei 2015
Sekeji itukah dg mngorbankan saudara,demi trbentuknya sebuah negara
ReplyDeleteSejarah tetaplah sejarah Sepahit apapun sejarah itu.
ReplyDelete