Sejarah Perkembangan Islam di Kerajaan Bone
Para pelaut pedagang Bugis dan Makassar sudah berhubungan
dengan agama islam jauh sebelum islam masuk ke Sulawesi selatan. Mereka
berhubungan dengan Masyarakat dagang yang kebanyakan Islam di daerah pantai
utara dan barat jawa serta sepanjang Selat Malaka, dan dengan Ternate DI Maluku
(yang mengadakan perjanjian persahabatan Kerajaan Gowa). Suatu masyarakat
Melayu Islam telah bermukim di Kota Makassar sejak pertengahan abad keenam
belas, dan Raja Goa menyambut kehadiran mereka dengan membangun sebuah masjid
untuk mereka. Tetapi, daerah itu diislamkan setelah Raja Gowa sendiri beserta
para penasihat terdekatnya memeluk agama Islam pada tahun 1605.
Penyebaran islam berawal ketika tiga orang ulama tiba di
Makassar pada akhir abad keenambelas. Mereka adalah orang Minangkabau dari Kota
Tengah, Sumatera Barat, tempat kelahiran sejumlah orang Islam Makassar, dan
anggota dari Perhimpunan Chalawatijah di Indonesia yang beraliran sufi ortodoks.
Para ulama ini berjasa dalam menyiarkan agama islam kepada Raja Gowa beserta
paman dan penasihatnya dan raja dari Kerajaan Tallo. Sejak saat itu
perkembangan Islam berjalan sangat pesat.
Setelah menganut agama islam, Raja Gowa mengeluarkan seruan
kepada para penguasa kerajaan lain agar menerima agama Islam. Seruan itu
dikatakan telah didasarkan atas persetujuan terdahulu, bahwa setiap penguasa
yang menemukan suatu jalan baru, dan lebih baik, berkewajiban memberi tahu para
penguasa lainnya mengenai penemuannya tersebut. Tetapi hanya kerajaan-kerajaan
kecil yang memberi tanggapan positif. Dan Gowa, yang khawatir akan
diperbaharuinya persekutuan Bone, Wajo, dan Soppeng terhadapnya, menyatakan
perang suci terhadap lawan-lawan lamanya. Kerajaan-kerajaan yang keras itu
ditaklukkan, Soppeng pada tahun 1609, Wajo tahun 1610 dan Bone tahun 1611 dan
dinyatakan masuk Islam. Hanyalah daerah-daerah pegunungan yang terpencil
khususnya daerah Toraja di daerah pedalaman tengah dan daerah Bawakaraeng dan
Lompobattang tetap di luar lingkup Islam.
Ketika kerajaan Gowa mengajak para penguasa di tanah Bugis
untuk menerima Islam menjadi agamanya seperti yang terjadi di kerajaan Gowa. Di
mata orang Bone hal itu dilihat sebagai upaya untuk menanamkan pengaruh dan
kekuasaan kerajaan Gowa. Pandangan seperti itu dalam banyak hal mewarnai
tingkah laku kerajaan-kerajaan besar di wilayah ini.
Di bawah pemerintah Raja Bone XII, kerajaan Bone dikenal
sebagai kerajaan paling besar di antara kerajaan-kerajaan lainnya dalam wilayah
suku Bugis. Raja Gowa yang lebih dahulu masuk Islam dikenal sangat bersemangat
dalam memperjuangkan Islam, begitu pula dengan rakyatnya. Sehingga beliau
berniat untuk menyampaikan dakwah pada kerajaan-kerajaan yang ada di
sekitarnya, termasuk Raja Bone. Kemudian raja Gowa menyampaikan pesan kepada
Raja Bone bahwa dia hanya akan dipandang dan dihormati sebagai raja yang
setaraf, apabila Raja Bone menganut ajaran agama Islam dan menyembah Tuhan Yang
Maha Esa.
Setelah kerajaan Sidenreng, Soppeng dan Wajo menerima Islam,
Raja Bone X digantikan oleh La Tenriruwa sebagai raja Bone XI. Mengetahui
ada pergantian raja di Kerajaan Bone maka Sultan Alauddin (Raja Gowa)
bersama pasukannya bergerak menuju Bone untuk bertemu dengan raja Bone yang
baru. Kunjungan ini bertujuan untuk mengajak Raja La Tenriruwa dan
rakyatnya untuk memeluk Islam. Ajakan Sultan Gowa ini nampaknya secara pribadi
dapat diterima dengan baik namun mendapat tantangan oleh para Ade pitu.
Menurut pendapat A. Zainal Abidin, penolakan atas Islam
sebagai agama kerajaan pada waktu itu disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain:
1.Mereka sukar meninggalkan kegemarannya makan babi, minum
tuak, sabung ayam dan judi, beristri banyak, dan lain-lain.
2.Mereka khawatir akan dijajah kembali oleh Gowa. Mereka
masih teringat akan perang yang dilancarkan oleh Raja-raja Gowa dahulu
seperti I Manrigau Daeng Banto Tunipallangga Ulaweng dan I Tajibarani
Daeng Marompa Tunibatta pada abad XVI.
Pada tahun 1910 Bone secara resmi masuk Islam, pada masa
pemerintahan Raja Bone XIII yaitu La Madderemueng (1631-1644) mulailah Kerajaan
Bone berbenah diri dengan melaksanakan hukum Islam ke dalam lembaga tradisi
Bone. Selain itu juga mencanangkan pembaharuan keagamaan, serta memerintahkan
kawulanya untuk mematuhi ajaran hukum Islam secara total dan menyeluruh.
Setelah itu, pada saat Islam masuk ke dalam struktur
pemerintahan sebagai satu bagian yang menangani syariat Islam (Parewa Sara).
Tugas raja dalam pengembangan agama Islam beralih kepada para pejabat sara atau
Parewa Sara.
Dengan diterimanya Islam dan dijadikannya syariat Islam
sebagai bagian dari pangngadereng, maka pranata-pranata sosial masyarakat Bone
mendapatkan warna baru. Ketaatan mereka terhadap pangngadereng sama dengan
ketaatannya terhadap syariat Islam.
Hal ini dikarenakan oleh penerimaan mereka terhadap Islam
tidak banyak merubah nilai-nilai, kaidah kemasyarakatan dan kebudayaan yang
telah ada. Apa yang dibawa oleh Islam hanyalah urusan ubudiyah (ibadah) tanpa
mengubah lembaga-lembaga dalam kehidupan masyarakat yang ada (pangngadereng).
Islam mengisi sesuatu dari aspek kultural dan sendi-sendi
kehidupan mereka. Nilai-nilai kesusilaan yang bertujuan menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia diselaraskan dengan konsep siri yang begitu
dijunjung tinggi oleh orang Bugis. Dengan jalan itu proses sosialisasi dan
enkulturasi Islam masuk dalam kebudayaan orang Bone.
Daerah Sulawesi yang berpenduduk sekitar enam juta orang
terdiri dari empat suku bagi penduduk asli ditambah dengan sejumlah pendatang
dari luar. Keempat suku yang menjadi penduduk asli Sulawesi Selatan adalah
Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja.
Memahami pola tingkah laku serta budaya Bugis-Makassar hanya mungkin memahami dengan baik konsep tentang Pangngaderreng dan siri’. Pangngaderreng merupakan suatu ikatan utuh sistem nilai yang memberikan kerangka acuan bagi hidup bermasyarakat orang-orang Bugis Makassar. Sedangkan Siri’ merupakan sikap hidup yang sangat mementingkan diri.
Pangngadereng dibangun ole unsur-unsur:
Ade’, yaitu sistem norma atau seperangkat adat yang menentukan dan mengatur batas-batas, bentuk-bentuk dan kaidah-kaidah. Misalnya, Ade’ yang khusus mengatur norma-norma perkawinan dan hal-hal yang berhubungan dengan etika rumah tangga disebut ade’ akkalabinengeng. Di dalamnya diatur garis keturunan mana yang dibolehkan untuk menjalin tali perkawinan dengan garis keturunan yang lain, kemudian kaidah-kaidah yang mengatur sah atau tidak sahnya perkawinan dan etika pergaulan dalam berumah tangga.
Memahami pola tingkah laku serta budaya Bugis-Makassar hanya mungkin memahami dengan baik konsep tentang Pangngaderreng dan siri’. Pangngaderreng merupakan suatu ikatan utuh sistem nilai yang memberikan kerangka acuan bagi hidup bermasyarakat orang-orang Bugis Makassar. Sedangkan Siri’ merupakan sikap hidup yang sangat mementingkan diri.
Pangngadereng dibangun ole unsur-unsur:
Ade’, yaitu sistem norma atau seperangkat adat yang menentukan dan mengatur batas-batas, bentuk-bentuk dan kaidah-kaidah. Misalnya, Ade’ yang khusus mengatur norma-norma perkawinan dan hal-hal yang berhubungan dengan etika rumah tangga disebut ade’ akkalabinengeng. Di dalamnya diatur garis keturunan mana yang dibolehkan untuk menjalin tali perkawinan dengan garis keturunan yang lain, kemudian kaidah-kaidah yang mengatur sah atau tidak sahnya perkawinan dan etika pergaulan dalam berumah tangga.
Bicara, mengatur segala hal-ikhwal yang berhubungan dengan
peradilan, mengatur hak dan kewajiban warga negara dalam pelaksanaan hukum
seperti penggugatan dan pembelaan di pengadilan. Namun bila dilihat materinya,
mengarah pada wilayah penerapan hukum adat.
Rapang, berarti contoh, kiasan atau perumpamaan atau semacam
yurisprudensi. Hal ini diberlakukan untuk situasi di mana kaidah atau
undang-undang belum ditemukan untuk suatu kasus atau kejadian.
Wari, berfungsi menata, mengklasifikasi, mengatur urutan
dari berbagai hubungan norma atau kaidah terutama dalam hubungannya dengan
hal-ikhwal ketatanegaraan serta hukum, seperti tata cara menghadap raja. Di
dalamnya juga diatur tentang pelapisan masyarakat atau stratifikasi sosial.
Sara’ merupakan unsur yang terbaru yang diserap dalam
Pangngadereng. Ia mengandung pranata dan hukum dimana kata sara’ itu jelas
diambil dari kata syariah. Bahwa sejak raja-raja Bugis dan Makassar pada abad
ke-17 mulai masuk Islam, hukum Islam diintegrasikan ke dalam pangngadereng.
Keberadaan sara’ memberi warna Islam kepada pangngadereng. Dalam hirarki
kerajaan diangkatlah pegawai yang khusus mengurusi rentang sara’ ini yang
disebut parewa sara’. Dialah yang bertanggung jawab dalam soal ibadah, zakat,
pengurusan masjid, serta pernikahan dan warisan.
Jika budaya Bugis-Makassar ditelusuri ke zamannya yang paling tua, maka zaman itu disebut Galigo. Kebudayaan bugis Makassar yang sebelumnya hanya terdiri dari empat (ade’, bicara, rapang dan wari) merupakan materi perjanjian yang dilakukan antara Tomanurung di satu pihak dan rakyat di lain pihak pada zaman pra Islam.
Setelah selesai zaman pra Islam, mulailah zaman pengaruh Islam yang amat kuat berinternalisasi ke dalam tubuh kebudayaan Bugis-Makassar. Ia memberikan coraknya pada papangaja dan paseng. Kenyataan ini pun menunjukkan betapa kuatnya kedudukan lontara sebagai khazanah kebudayaan Bugis-Makassar yang dihasilkan sebelum Islam, sebab sebagian besar masih tetap terpelihara dalam zaman setelah memeluk agama Islam. Lontara Latoa misalnya memuat sejumlah nasihat sekitar akhlak penyelengaraan masyarakat atau negara yang dikemukakan oleh Kajaoliddo, Toriyolo, Matinro’e ri Tanana, petta Maddanrenge, Arung Bila, Nabi Muhammad Luqman al-Hakim, Petta Matinroe ri Lariangbangngi. Di dalamnya terdapat juga sejumlah pedoman bagi raja (Arung), bagi anak raja (Ana’karung’e), guru (Anre’guru) baik yang laki-laki maupun perempuan.
Peranan dalam islamisasi di Bone Arungpone dibantu oleh seorang qadhi yang bernama Syekh Ismail, beliau adalah qadhi kedua di kerajaan Bone sekaligus merangkap jadi qadhi di Soppeng. Syeikh Ismail menjadi guru di tengah-tengah pemikiran penduduk yang memiliki banyak fungsi, selain fungsi tempat ibadah, termasuk menjadi sarana pendidikan.
Lambat laun ajaran Islam menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dalam proses islamisasi dikaitkan dengan kegiatan upacara-upacara keislaman dan upacara yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Jadi setiap ada upacara senantiasa ditempatkan sifat islami yang berdampingan dengan budaya masyarakat Bone dalam perkembangan selanjutnya nuansa keagamaan semakin bercorak dan diperkuat dengan masuknya aliran tasawuf dalam prosesi penyiaran Islam.
Dalam sejarah disebutkan bahwa para raja Bone, mulai dari raja pertama sampai raja terakhir yang masuk Islam memberikan kesan bahwa masing-masing berbeda dalam usaha islamisasi dan memahami Islam. Hal ini berkenaan dengan kehadiran dan perkembangan agama Islam di Bone. Hal ini diwujudkan dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan, kendatipun demikian, sejak agama Islam dikenal luas oleh masyarakat Bone, hampir semua kebijakan mempunyai muatan-muatan Islam, termasuk dalam aspek pendidikan ajaran agama Islam, pemerintah Bone banyak memberikan dukungan sampai pada masa pemerintahan raja terakhir Haji Andi Mappanyukki.
Pada masa raja yang terakhir ini, kehidupan sosial keagamaan meningkat, komitmen terhadap ajaran Islam diwujudkan dengan kepedulian menerapkan nilai-nilai keagamaan bagi masyarakat Bugis Bone. Selain itu juga dibarengi dengan sikap keteladanan yang ditunjukkan, beliau dikenal sangat taat dalam menjalankan syariat Islam.
Sumbangsih beliau terhadap pelaksanaan syariat Islam ditandai dengan didirikannya tempat-tempat ibadah, demikian juga prosesi Islamisasi di Bone, oleh masyarakat, masyarakat sudah mulai mensinkronisasi ajaran Islam dengan pangadereng.
Perpaduan yang harmonis antara ulama dan umara membawa angin segar bagi penegakan perkembangan syariat Islam di Bone, pemerintah memberikan kemenangan pada ulama, dalam bidang keagamaan, sehingga keduanya mampu berjalan beriringan dengan semboyan: Riappaketenningi Ade’e pattupui ri sara’e artinya adat tempat berpegang dan sara’ tempat saudaranya.
Sejak masa itu peran ulama tidak hanya tergabung dalam organisasi qadhi, tetapi banyak di antara mereka melakukan aktivitas keagamaan di luar dari kordinasi organisasi formal. Para ulama lebih banyak memberikan pengajaran agama di masyarakat, termasuk yang dilakukan di tempat-tempat ibadah.
Jika budaya Bugis-Makassar ditelusuri ke zamannya yang paling tua, maka zaman itu disebut Galigo. Kebudayaan bugis Makassar yang sebelumnya hanya terdiri dari empat (ade’, bicara, rapang dan wari) merupakan materi perjanjian yang dilakukan antara Tomanurung di satu pihak dan rakyat di lain pihak pada zaman pra Islam.
Setelah selesai zaman pra Islam, mulailah zaman pengaruh Islam yang amat kuat berinternalisasi ke dalam tubuh kebudayaan Bugis-Makassar. Ia memberikan coraknya pada papangaja dan paseng. Kenyataan ini pun menunjukkan betapa kuatnya kedudukan lontara sebagai khazanah kebudayaan Bugis-Makassar yang dihasilkan sebelum Islam, sebab sebagian besar masih tetap terpelihara dalam zaman setelah memeluk agama Islam. Lontara Latoa misalnya memuat sejumlah nasihat sekitar akhlak penyelengaraan masyarakat atau negara yang dikemukakan oleh Kajaoliddo, Toriyolo, Matinro’e ri Tanana, petta Maddanrenge, Arung Bila, Nabi Muhammad Luqman al-Hakim, Petta Matinroe ri Lariangbangngi. Di dalamnya terdapat juga sejumlah pedoman bagi raja (Arung), bagi anak raja (Ana’karung’e), guru (Anre’guru) baik yang laki-laki maupun perempuan.
Peranan dalam islamisasi di Bone Arungpone dibantu oleh seorang qadhi yang bernama Syekh Ismail, beliau adalah qadhi kedua di kerajaan Bone sekaligus merangkap jadi qadhi di Soppeng. Syeikh Ismail menjadi guru di tengah-tengah pemikiran penduduk yang memiliki banyak fungsi, selain fungsi tempat ibadah, termasuk menjadi sarana pendidikan.
Lambat laun ajaran Islam menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dalam proses islamisasi dikaitkan dengan kegiatan upacara-upacara keislaman dan upacara yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Jadi setiap ada upacara senantiasa ditempatkan sifat islami yang berdampingan dengan budaya masyarakat Bone dalam perkembangan selanjutnya nuansa keagamaan semakin bercorak dan diperkuat dengan masuknya aliran tasawuf dalam prosesi penyiaran Islam.
Dalam sejarah disebutkan bahwa para raja Bone, mulai dari raja pertama sampai raja terakhir yang masuk Islam memberikan kesan bahwa masing-masing berbeda dalam usaha islamisasi dan memahami Islam. Hal ini berkenaan dengan kehadiran dan perkembangan agama Islam di Bone. Hal ini diwujudkan dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan, kendatipun demikian, sejak agama Islam dikenal luas oleh masyarakat Bone, hampir semua kebijakan mempunyai muatan-muatan Islam, termasuk dalam aspek pendidikan ajaran agama Islam, pemerintah Bone banyak memberikan dukungan sampai pada masa pemerintahan raja terakhir Haji Andi Mappanyukki.
Pada masa raja yang terakhir ini, kehidupan sosial keagamaan meningkat, komitmen terhadap ajaran Islam diwujudkan dengan kepedulian menerapkan nilai-nilai keagamaan bagi masyarakat Bugis Bone. Selain itu juga dibarengi dengan sikap keteladanan yang ditunjukkan, beliau dikenal sangat taat dalam menjalankan syariat Islam.
Sumbangsih beliau terhadap pelaksanaan syariat Islam ditandai dengan didirikannya tempat-tempat ibadah, demikian juga prosesi Islamisasi di Bone, oleh masyarakat, masyarakat sudah mulai mensinkronisasi ajaran Islam dengan pangadereng.
Perpaduan yang harmonis antara ulama dan umara membawa angin segar bagi penegakan perkembangan syariat Islam di Bone, pemerintah memberikan kemenangan pada ulama, dalam bidang keagamaan, sehingga keduanya mampu berjalan beriringan dengan semboyan: Riappaketenningi Ade’e pattupui ri sara’e artinya adat tempat berpegang dan sara’ tempat saudaranya.
Sejak masa itu peran ulama tidak hanya tergabung dalam organisasi qadhi, tetapi banyak di antara mereka melakukan aktivitas keagamaan di luar dari kordinasi organisasi formal. Para ulama lebih banyak memberikan pengajaran agama di masyarakat, termasuk yang dilakukan di tempat-tempat ibadah.
Perkembangan Islam yang cepat di Sulawesi Selatan dipermudah
dengan kenyataan bahwa aliran Islam sufi yang bersifat mistiklah yang dibawa
oleh ulama Minangkabau itu. Kesesuaian aliran sufi yang bersifat mistik dengan
kepercayaan-kepercayaan yang sudah ada sebelumnya di Indonesia sudah sering
dikemukakan; dan Sulawesi tidak merupakan perkecualian. Kepercayaan-kepercayaan
yang lebih lama dan bersifat animistik pada kekuatan pembawaan makhluk, yang
hidup dan mati, dan kekuatan benda-benda (terutama batu, sebagaimana di banyak
tempat di Asia Tenggara) terus dipertahankan oleh banyak orang, dan
upacara-upacara yang mencerminkan kepercayaan ini dan pengaruh agama
Hindi-Budha kemudian, masih terus dilaksanakan sampai jauh dalam abad kedua
puluh. Yang terutama mempunyai arti penting adalah diteruskannya pemujaan
tanda-tanda kebesaran kerajaan, yang menjadi pusat kohesi spiritual masyarakat.
Tidak ada pemutusan yang tajam dengan kepercayaan dan
kebiasaan lama karena orang memilih dari agama baru itu yang sama-sama yang
tampak sesuai atau meyakinkan bagi mereka. Islam memberikan alternatif terhadap
cara-cara biasa untuk melakukan sesuatu; kadang-kadang ajaran Islam
menggantikan apa yang telah dilakukan sebelumnya, kadang-kadang peraturan baru
dikesampingkan; dan kadang-kadang suatu sintesa barupun terciptalah. Dengan
jalan ini kebiasaan dan kepercayaan Islam bercampur dengan apa yang sudah ada,
dan bagian-bagian dari hukum Islam menjadi satu dengan praktek yang sudah lazim
berlaku dalam masyarakat.
Di Sulawesi Selatan, Islam telah berjasa dalam membatasi
kekuasaan tidak terbatas para raja, yang membuatnya lebih mudah bagi rakyat
umum untuk mendekati mereka, dan yang menerapkan sedikit keluwesan dalam
peraturan-peraturan kelas untuk perkawinan. Tetapi, adat adalah kewenangan
terakhir, karena hadat-lah (yang pada hakikatnya adalah dewan adat) yang
dapat memperkuat atau membatalkan keputusan pengadilan agama oleh Kadi. Kadi
dan Imam lebih sering merupakan penasihat daripada anggota hadat, dan
mungkin karena mereka pada umumnya adalah sanak keluarga penguasa seringkali
mereka lebih memperhatikan keinginan-keinginannya daripada aturan-aturan hukum
Islam.
Menjelang awal abad kedua puluh terdapat suatu sistem pengadilan Islam yang luas di Sulawesi Selatan, dengan yurisdiksi atas persengketaan yang mencakup perkawinan, perceraian, dan pewarisan. Tetapi, hukum yang mereka gunakan merupakan campuran dari hukum Islam dan hukum adat.
Referensi :
http://jafar2001.blogdetik.com/2008/05/25/sejarah-masuknya-islam-di-kerajaan-bone/
http://jafar2001.blogdetik.com/2008/05/25/sejarah-masuknya-islam-di-kerajaan-bone/
http://celoteh-edy.blogspot.com/2013/03/awal-masuk-dan-berkembangnya-islam-di.html
http://sejarahbone.blogspot.com/2012/06/riwayat-masuknya-islam-di-sulawesi.html
0 Response to "Sejarah Perkembangan Islam di Kerajaan Bone"
Post a Comment
Tinggalkan Komentar Anda