Sejarah Perkembangan Islam di Kalimantan Barat
Sejarah masuknya
Islam di Kalimantan barat - Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Sendam,
1970:35, “Islam Masuk di Kalimantan Barat yaitu sekitar abad ke 15 M,
melalui perdagangan dan tidak melalui organisasi misi, tetapi merupakan
kegiatan perorangan”. Ada dua proses berlangsungnya penyebaran Islam. Pertama
penduduk pribumi berhubungan dengan agama Islam, kemudian menganutnya. Kedua,
orang-orang asing Asia (Arab,India, Cina dan lain-lain) yang telah memeluk
agama Islam dan bertempat tinggal secara permanen di suatu wilayah
kemudian melakukan perkawinan campuran dan menjadi anggota
masyarakat lainnya. Seperti pada kerajaan Tanjungpura, Sambas, Mempawah,
Kubu, Pontianak dan lain sebagainya.
Ada beberapa hal yang membuat Islam dapat dengan mudah untuk
diterima oleh masyarakat dan menyebar luas sampai kedaerah-daerah pedalaman.
Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1.Melalui perkawinan
Dimana adanya perkawinan campuran yang dilakukan oleh orang
muslim dengan orang non-muslim. Adanya perkawinan campuran ini juga dapat
dilihat pada kerajaan Pontianak yang rajanya Syarief Abdurrahman
Al-Kadri menikah dengan Nya’I Tua putri Dayak kerajaan Matan.
2.Melalui perdagangan
Mayoritas penduduk Kalbar tinggal di daerah pesisir sungai
atau pantai. Islam disebar luaskan dan berkembang melalui kegiatan perdagangan
mulanya di kawasan pantai seperti Kota Pontianak, Ketapang, atau Sambas,
kemudian menyebar kearah perhuluan sungai (Yusriadi,dkk 2005:2).
3.Melalui dakwah
Adapun nama-nama mubaligh dan guru agama yang terlibat dalam
menyebarkan agama Islam di Kalbar tersebut pada awal abad ke-20 menurut Mohd
Malik (1985:48) diantaranya adalah Haji Mustafa dari Banjar (1917-1918), Syeh
Abdurrahman dari Taif, Madinah (1926-1932), Haji Abdul Hamid dari Palembang
(1932-1937), Sulaiman dari Nangah Pinoh (1940-?), dan Haji Ahmad asal Jongkong
(sekarang). Para guru agama ini mengajarkan membaca Al-Quran, fiqh dan
lain-lain, dirumah dan juga di mesjid. Dalam pengajaran membaca Al-Qur’an
mereka menggunakan metode Baqdadiyah (Yusriadi,dkk 2005:5).
4.Melalui Kekuasaan (otoriter)
Islamisasi ini terjadi pada masa Sultan Aman di
kerajaan Sintang. Pada massa ini beliau melakukan perperangan kepada siapa saja
yang tidak mau masuk Islam. Tercatat raja-raja kerajaan Silat, Suhaid,
Jongkong, Selimbau dan Bunut diperangi karena tidak mau masuk Islam. Setelah
raja-raja tersebut dapat ditaklukan dan menyatakan diri memeluk Islam, mereka
diharuskan berjanji untuk tidak ingkar. Bagi yang melanggar akan dihukum mati.
Hal ini mungkin agak unik dibandingkan dengan Islamisasi yang terjadi diwilayah
lain yang rata-rata disiarkan secara damai (Hermansyah, dkk 2005:10).
5.Melalui Kesenian
Islam disebarkan kepada masyarakat Kalbar juga melalui
kesenian tradisional. Ini dapat kita lihat pada masyarakat di Cupang Gading.
Sastra tradisional yang ada di Cupang Gading memperlihatkan adanya nilai-nilai
keislaman. Dengan mengkolaborasikan antara nilai Islam dengan nilai kesenian
ini memberikan kemudahan dalam menyebarkan Islam itu sendiri.
Berpadunya nilai lokal dengan Islam dapat dilihat melalui
prosa rakyat yang dikenal dengan istilah bekesah dan melalui puisi
tradisional, seperti pantun, mantra, dan syair (Dedy Ary Asfar,dkk 2003:
46).Selain itu Islam juga disebarkan melalui kesenian Jepin
Lembut yang ada didaerah Sambas. Dengan berbagai macam kesenian inilah
yang kemudian dijadikan media dakwah dalam menyebarkan Islam di
Kalbar.
Di Kalimantan Barat daerah yang pertama kali mendapat
sentuhan agama Islam adalah Pontianak, Matan dan Mempawah yang diperkirakan
antara tahun 1741, 1743 dan 1750. Menurut salah satu versi pembawa islam
pertama bernama Syarief Husein, seorang Arab atau dengan nama lain beliau Syarif
Abdurrahman al-Kadri, putra dari Svarif Husein. Diceritakan bahwa Syarief
Abdurrahman Al-Kadri adalah putra asli Kalimantan Barat. Ayahnya Sayyid Habib
Husein al-Kadri, seorang keturunan Arab yang telah menjadi warga Matan. Ibunya
bernama Nyai Tua, seorang putri Dayak yang telah menganut agama Islam, putri
Kerajaan Matan. Syarif Abdurrahman al-Kadri lahir di Matan tanggal 15 Rabiul
Awal 1151 H (1739 M). Jadi ia merupakan keturunan Arab dan Dayak dan Ayahnya
Syarief Husein (Ada yang menyebutnya Habib Husein) menjadi Ulama terkenal di
Kerajaan Matan hampir selama 20 tahun.
Menurut keterangan di atas tampak bahwa islam masuk di
Kalimantan Barat dibawa oleh juru dakwah dari Negeri Arab. Ini sejalan dengan
teori beberapa sejarawan Belanda diantaranya Crawford (1820), Keyzar (1859), Neiman
(1861), de Hollander (1861), dan Verth (1878). Menurut mereka penyiar Islam di
Indonesia (Nusantara) berasal dari arab, tepatnya dari Hadramat, Yaman. Teori
ini didukung pula oleh sejarawan dan ulama Indonesia modern, seperti Hamka, Ali
Hasyim, Muhammad Said dan Syed Muhammad Naquib a( atlas (Malaysia).
Islam di Kalimantan Barat berjalan secara alami Habib Husein
al-Kadri sebagai juru dakwah pertama, dilanjutkan oleh putranya Syarif
Abdurrahman al-kadri bersama para kader dakwah lainnya. Disebut alami disini
karena selain tugas dakwah dijalankan, aktivitas ekonomis juga digerakkan
sehingga para juru dakwah perintis ini memiliki kekuatan ekonomi yang kuat.
Dengan kekuatan ekonomi ini pula dakwah menjadi semakin berhasil, ditambah
relasi yang luas dengan para pedagang lainnya. Walaupun bagi Kalimantan barat,
datangnya Islam yang dibawa oleh Syarif Husein alKadri, Kalimantan barat bukan
merupakan daerah pertama yang didatanginya. Dan rentetan kronologi sampai akhirnya
beliau menetap dan memusatkan dakwah di
Kalimantan Barat.
Beliau sendiri lahir tahun 1118 H di Trim Hadramat Arabia.
Tahun 1142 H setelah menamatkan pendidikan agama yang memadai, atas saran
gurunya berangkat menuju negeri-negeri timur bersama tiga orang kawannya untuk
mendakwah islam. Tahun 1145 H mulanya mereka tiba di Aceh. Sambil berdagang
mereka mengajarkan Islam disana. Lalu perjalanan di lanjutkan ke Betawi
(Jakarta) sedangkan temannya Sayyid Abubakar Alaydrus menetap di Aceh, Sayyid
Umar Bachasan Assegaf berlayar ke Siak dan Sayyid Muhammad bin Ahmad al-Quraisy
ke Trenggano. Syarif Husein al-kadri tingggal di betawi selama 7 bulan,
kemudian di Semarang selama 2 tahun bersama Syekh Salam Hanbali. Tahun 1149
beliau berlayar dari Semarang ke Matan (ketapang) Kalimantan Barat dan diterima
di Kerajaan Matan.
Seiring dengan usaha dakwahnya, penganut Islam semakin
bertambah dan Islam memasyarakat sampai ke daerah pedalaman. Maka antara Tahun
1704-1755 M ia diangkat sebagai Mufti (hakim Agama Islam) dikerajaan Matan.
Selepas tugas sebagai Mufti, beliau sekeluarga diminta oleh raja Mempawah Opo
Daeng Menambun untuk pindah ke Mempewah dan mengajar agama disana sampai
kemudian diangkat menjadi Tuan Besar Kerajaan Mempewah, sampai wafatnya tahun
1184 dalam usia 84 tahun.
Mulanya Syarif Husein menetap di Matan (Ketapang) dan
berdakwah disana. Ia mendapatkan respon yang sangat baik sehingga penganut
Islam semakin banyak dan Islam memasyarakat sampai kepedalaman. Maka antara
Tahun 1704-1755 M Ia diangkat sebagai Mufti (hakim Agama Islam) dikerajaan Matan.
Selepas tugas sebagai Mufti, beliau sekeluarga diminta oleh raja Mempawah Opo
Daeng Menambun untuk pindah ke Mempawah dan mengajar agama disana sampai
kemudian diangkat menjadi Tuan Besar Kerajaan Mempawah, sampai wafatnya tahun
1184 dalam usia 84 tahun. (Anshar Rahman, 2000:5-6). Syarif Husein tidak hanya
menyebar Islam dikalangan rakyat jelata, Ia juga menyebarkan kekalangan
bangsawan. Salah satu cara yang ditempuh beliau dalam menyebarkan Agama Islam
adalah dengan melakukan perkawinan dengan putri-putri bangsawan. Beliau
menikahi 3 orang putri yang berasal dari kerajaan Matan, dan mereka ini berasal
dari suku Dayak. (Anshar Rahmat, 2000:25)
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Banjar Kalimantan
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Banjar Kalimantan
Pendapat lain mengatakan bahwa Islam masuk ke Kalbar pada
abad ke 15 di pelabuhan Ketapang (Sukadana) melalui perdagangan. Penyebaran
agama Islam di Kalimantan Barat membujur dari Selatan ke Utara, meliputi
daerah Ketapang, Sambas, Mempawah, Landak. Menurut Safarudin Usman bahwa
Islam mulai menyebar di Kalimantan Barat diperkirakan sekitar abad XVI
Miladiah, penyebaran Islam terjadi ketika kerajaan Sukadana atau lebih dikenal
dengan kerajaan Tanjungpura dengan penembahan Barukh pada masa itu di Sukadana
agama Islam mulai diterima masyarakat (Ikhsan dalam Usman 1996:3), akan tetapi
Barukh tidak menganut agama Islam sampai wafat 1590 M.
Selain itu ada pendapat yang mengemukakan pada tahun 1470
Miladiah sudah ada kerajaan yang memeluk agama Islam yaitu Landak dengan
rajanya Raden Abdul Kahar (Usman,1996:4) Dimasa pemerintahan Raden Abdul Kahar
(Iswaramahaya atau Raja Dipati Karang Tanjung Tua) beliau telah memeluk
agama Islam sehingga dapat dikatakan berawal dari kerajaan Landak.
Berbagai pendapat yang telah dikemukakan di atas bisa
diperkirakan, bahwa agama Islam masuk di Kalimantan Barat pada masa
pemerintahan Barukh (1538-1550). Dari riwayat kerajaan Landak diperoleh
keterangan bahwa agama Islam di bawah pemerintahan Kerajaan Ismahayana, yang
bergelar Raja Dipati Tanjung Tua (1472-1542), agama Islam mulai berkembang di
kerajaan Landak (Sendam, dalam Ajisman:1998). Mengingat kerajaan Matan dan
Landak yang masuk diperkirakan pada abad ke 15 maka kerajaan Sintang yang
berada dipedalaman sekitar akhir abad ke 16. Penyebaran yang pertama-tama
kemungkinan dari para pedangang Semenanjung Melayu, terutama pedagang dari
Johor. (Dalam Ikhan:2004:95).
Sahzaman berpendapat bahwa agama Islam masuk di Kalimantan
Barat melalui selat Karimata menuju kerajaan Tanjungpura yang memang sudah
ada sejak abad ke XIII. Kerajaan Sambas pada masa Raden Sulaiman
putra Raja Tengah dari kerajaan Brunei (Ajisman 1998:24)
Dalam buku Sejarah Kodam XIII Tanjungpura Kalimantan Barat yang diterbitkan
oleh Sendam Tanjungpura menyebutkan masuknya agama Islam di Kalimantan
Barat pada abad ke 16 Ketika kerajaan Hindu Sukadana dipimpin
rajanya penembahan Barukh, pada saat yang sama penembahan Barukh membangun
kota Baruk yaitu Matan (Ajisman:1998:25)
Kerajaan Tanjungpura menjadi salah satu ciri kerajaan Islam,
jauh sebelumnya sudah pernah ada komunikasi antara masyarakat dikerajaan
Tanjungpura dengan para pedagang dari Arab, bentuk-bentuk peningalan yang
masih bayak terdapat di daerah Kabupaten Ketapang, baik yang bersifat tangible
maupun intangible hal itu masih bisa dijumpai sampai saat ini. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Balar Arkeologi dari Banjarbaru Kalimantan
Selatan bahwa peninggalan makam keramat tujuh maupun keramat
sembilan diperkirakan pada abad ke-15 akan tetapi jauh
sebelumnya sudah ada kehidupan Islam di daerah Benua Lama, karena juga
ditemukan nisan didalam dasar tanah berdiri kokoh dan relief yang bercorak Arab
di wilayah Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat.
Umat Islam menjadi mayoritas ketika berdirinya kerajaan
Pontianak pada tahun 1771 Miladiah. Kesultanan Pontianak dengan rajanya
Sultan Syarif Abdurahman Al Qadrie adalah putra Syarif Husin Al Qadrie
yang menjadi salah seorang penyebar agama Islam di Kalimantan Barat, kehadiran
kesultanan yang bercorak Islam masih membawa pengaruh adat istiadat bangsa
Nusantara yang dinamakan pengaruh Jawa pra Islam. Salah satu pengaruh kuat
adalah percampuran budaya Timur Tengah dengan budaya jawa Pra Islam.
Sekitar tahun 1733 Syarif Husin bin Ahmad Al Qadrie seorang ulama dari
negeri Trim Ar-Ridha Hadralmaut (Timur Tengah) datang ke kerajaan
Matan untuk menyebarkan agama Islam, kemudian di angkat sebagai penasehat
raja, akan tetapi jabatan tidak begitu lama dikarenakan ada perselisihan
paham tentang hukuman terhadap nakhoda tidak disetujui oleh Syarif Husein
kemudian pindah kekerajaan Mempawah.
Di daerah Kampung Kapur terdapat seorang guru ngaji
yang bernama Djafar pada jaman tersebut beliau salah seorang yang
termasyhur, sultan Pontianak Syarif Muhammad Al-Qadrie mengundang Djafar
khusus menjadi guru ngaji dilingkungan Keraton Kadriyah Pontianak
(Usmandkk:1997).
Ustazd Djafar yang kelak menurunkan anak yang bernama Kurdi
Djafar dikenal pendiri cabang Muhammadiyah di Sungai Bakau Kecil di
Mempawah dan salah seorang putranya Mawardi Djafar seorang tokoh
Muhammadiyah yang ada di Pontianak (dalam Iksan wawancara H.Rahim Jafar)
Islam di Kalimantan Barat tidak saja disebarkan dikalangan
masyarakat grassproots (akar rumput) atau rakyat jelata, tetapi juga dikalangan
bangsawan. Cara yang digunakan pada awalnya adalah dengan, mengawini
putri-putri bangsawan. Syarif Husein mulanya kawin dengan Nyai tua seorang
putri keluarga kerajaan Matan. Belakangan beliau juga kawin dengan Nyai tengah
dan Nyai Bungsu juga dari lingkungan kerajaan Matan. Dari Nyai Tua lahir Syarif
Abdurrlhnrm Al-Kadri yang belakangnya menjadi pendiri Kesultanan Pontianak,
Dari Nyai Tengah ia memiliki tiga anak, yaitu Syarifah Aisyah Syarif Abu Baikar
dan Syarif Muhammad. Sedangkan dari Nyai Bungsu memperoleh tiga anak pula,
yaitu Syarif Ahmad, Svarifah Marjanaj, Syarifah Noor. Ketiga istrinya itu
bersaudara, namun dikawini secara ganti tikar setelah istri yang ada meninggal.
Melihat sepak terjang Syarif Husein diatas, tampak beliau
membangun kekuatan dakwah. selain politik dengan mendekati keluarga Kerajaan
yaitu mengawini putri-putri bangsawan Kerajaan dayak yang sudah masuk Islam.
Cara seperti ini memang banyak dilakukan para Ulama terdahulu, seperti para
Ulama Walisongo dijawa dan Ulama besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari. Dikalangan Ulama Walisongo tercatat diantaranya Sunan Bonang adalah
putra Sunan Ampel dari hasil perkawinannya dengan Dewi Candrawati putri
Brawijaya Kertabumi, cucu raja Majapahit. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
pernah kawin dengan Bajut (istri pertama) seorang putri Istana. Istri beliau
yang lain, Ratu Aminah putri Pangeran Toha bin Sultan Tahmidillah, raja Banjar
Islam yang ke-16 tampak disini, pintu perkawinan merupakan cara ampuh untuk
mendekati lembaga kekuasaan. Terbukti kemudian Syarif Husein diangkat sebagai
Mufti di Kerajaan Matan. Dan hal sama juga Syekh Muhammad Arsyad diangkat
menjadi mufti dikerajaan Banjar. Pengangkatan tersebut tentu saja tidak semata
karena adanya pertalian darah melalui perkawinan, tetapi didukung oleh
keutamaan mereka juga.
Hal sama dilakukan oleh putra Syarif Husein, yaitu Syarif
Abdurrahman alKadri. Ketika ayahnya diminta oleh Raja Mempawah Opo Daeng
Menambun untuk pindah ke Mempawah dan diangkat untuk menjadi tuan Besar
Mempawah, Abdurrahman dikawinkan dengan Utin Candra Midi, putri Raja Opu Daeng
Menambun. Jadi ada keberlanjutan pertalian darah antara darah Ulama dengan
darah raja. Pertalian inilah yang membuat posisi Syarif Husein dan Syarif
Abdurrahman AlKadri beserta keturunannya semakin kuat.
Sebelum memperkuat karir politiknya, Syarif Abdurrahman
Al-Kadri menjadi pedagang antar pulau. Sebagai mana disebutkan terdahulu ia
memiliki armada dagang yang dilengkapi persenjataan di laut. Pernyataan ini
seolah bertentagan dengan pernyataan terdahulu bahwa para pedagang Arab tidak
tertair menggunakan senjata, dalam berdakwah. Sebenarnya tidak ada yang
bertentangan dalam hal ini. Senjata yang digunakan oleh Syarif Abdurrahman
al-Kadri adalah untuk mengawal armada dagangnya, sebab saat itu sudah terjadi
persaingan antar kapal dagang, terutama kapal dagang asing dan juga untuk
mengantisipasi serangan perompak laut (bajak laut). Kemungkinan besar angkatan
bersenjata yang mengawal armada dagangnya tidak semata miliknya tetapi juga
dibantu oleh Kerajaan Matan dan Kerajaan Mempawah yang sudah Islam ketika itu.
Jadi Senjata bukan untuk dakwah, hanya mengawal dagang.
Setelah Syarif Abdurrahman Al-Kadri mengurangi aktifitas
dagangnya. ia kemudian lebih memfokuskan untuk mendirikan suatu kerajaan atau
kesultanan Islam. Mulanya tahun 1185 H (1771 M) ia meninggalkan Mempawah menuju
Pontianak. Setelah 4 hari berlayar disungai Kapuas, rombongannya mendarat di
Istana Kadriah yang sekarang dinamai Pontianak. Di sini ia membangun perumahan
dan balai serta masjid. Di tahun yang sama ia balik ke Mempawah untuk membawa
serta keluarga dan mengambil armada Tiang Sambung ke Pontianak.
Tahun 1777 dengan dibantu Raja Haji dari Riau, ia berlayar
ke Tayan dan Sanggau untuk menaklukkannya dibawah kekuasaan Pontianak
Selanjutnya tahun 1778 dengan dihadiri oleh para sultan dan penambahan dari
Landang. simpang, Sukadana, Malay dan Mempawah, raja haji mengangkat dan
menobatkan Syarif Abdurrahman al-Kadri menjadi Sultan dari kesultanan
Pontianak. Setelah itu kesultanan Pontianak terus menguat dan menguasai
Mempawah, Sambas, dll, baik dengan jalan perang maupun damai. Setelah Sultan
Syarif Abdurrahman AI-Kadri wafat tahun 1808 M, berturut-turut sejumlah sultan
keturunannya berkuasa di Kesultanan Pontianak, yaitu:
Sultan Syarif Kasim Al-Kadri (1808-1819)
Sultan Syarif Usman AI-Kadri (1819-18SS)
Sultan Syarif Hamid Al-Kadri (1855-1872)
Sultan Syarif Yusuf Al-Kadri (1872-1895)
Sultan Syarif Muhammad Al-Kadri (185-1944)
Sultan Syarif Thaha Al-Kadri (1944-1945)
Sultan Syarif Usman AI-Kadri (1819-18SS)
Sultan Syarif Hamid Al-Kadri (1855-1872)
Sultan Syarif Yusuf Al-Kadri (1872-1895)
Sultan Syarif Muhammad Al-Kadri (185-1944)
Sultan Syarif Thaha Al-Kadri (1944-1945)
Sultan Syarif Hamid Al-Kadri (Sultan
Hamid), (1945-1950)
Adanya
Kesultanan Pontianak yang dibangun oleh Sultan Syarif Abdurrahman Al-Kadri,
putra Syarif Husein al-Kadri ini menarik untuk dikomentari. Sebelumnya
disebutkan pedagang Arab atau Ulama asal Arab yang datang ke Indonesia tidak
teriarik untuk membangun kekuatan Politik (political power) dengan cara
mendirikan kerajaan sendiri yang dikuasai oleh keturunan Arab. Mereka lebih
senang menjadi Ulama yang bersekutu dengan pihak kerajaan. Itu sebabnva tidak
banyak diketahui orang Arab atau keturunan Arab yang menjadi pengusaha di
Nusantara. Dari sedikit itu tercatat misalnya Fatahillah (Syarif Hidayatullah)
yang berkuasa di Banten dan berhasil mengusir Poriugis dari Sunda Kelapa
(Jayakarta) menguasainya. sehingga ia dianggap sebagai pendiri kota Jayakarta
atau Jakarta sekarang, dan namanya diabadikan sebagai nama Universitas Islam
negeri (UIN/ sebelumnya IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Mengapa Syarif Abdurrahman AI-Kadri tertarik terjun kedua
politik dan selanjutnya menjadi sultan Pontianak Pertama, ini tidak terpisahkan
dari darah yang mengalir pada dirinya. Walaupun ayahnya yarif Husin seorang
Ulama Besar yang pernah diangkat menjadi Mufti dan tuan besar dan Syarif
Abdurrahman pun diberikan pendidikan agama yang kuat oleh ayahnya, amun pada
diri Syarif al-Kadri juga mengalir darah bangsawan kerajaan, sebab ibunya (Nyai
Tua) adalah putri raja Matan, dan istrinya sendiri (Utin Chandra Midi) adalah
putri raja Mempawah. Patutu juga dicatat, salah satu istri Syarif Abdurrahman
AI-Kadri adalah ratu Syacharanom, putri dari kerajaan banjar, sehingga is sempat
digelari Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam.
Dalam keadaan mengalir darah raja dan banyak bergaul dengan
lingkungan kerajaan, bahkan kawin dengan putri-putri raja dapat dimaklumi jika
Syarif Abdurrahman AI-Kadri punya naluri berkuasa yang besar sehingga berhasil
membangun kesultanan Pontianak yang sangat besarnya dalam mengembangkan Islam
di Kalimantan Barat.
Pilihan politik ini, walaupun sepintas menyimpang dari
tradisi orang Arab dan keturunannya di Indonesia yang lebih tertarik berdagang
dan berdakwah, namun pilihan itu tidak dapat dikatakan salah. Dengan memiliki
power politik sesudah power ekonomi melalui keberhasilan berdagang, agama Islam
akan semakin berkembang dan memiliki kekuatan politik di Kalimantan Barat.
Sebab dakwah Islam atau agama Islam akan kuat apabila ditopang oleh kekuasaan
dan ekonomi.
Lagi pula kekuasaan Syarif Abdurrahman Al-Kadri bukan semata
karena ambisi politiknya, tetapi juga didukung oleh para Sultan dari kerajaan
lain, juga dukungan rakyat. Salah satu kekuatan politik Kesultanan Pontianak
adalah adanya toleransi beragama yang tinggi. Kepercayaan agama lain diluar
Islam seperti Animisme, Khonghucu, dll, tetap dihormati. sehingga tidak terjadi
konflik antaragama atau hal-hal negative lainnya. Bahkan di Kalimantan Barat bukan
hal aneh bila mesti berdampingan atau berdekatan letaknya dengan klenteng,
balai slot Dayak, dll. Adanya toleransi yang tinggi ini, membuat masyarakat non
muslim tidak berkeberatan dikuasai oleh Kesultanan Pontianak yang Islam.
Kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Kalimantan barat
Umat Islam menjadi mayoritas ketika berdirinya kerajaan
Pontianak pada tahun 1771 Miladiah. Kesultanan Pontianak dengan rajanya Sultan
Syarif Abdurahman Al Qadrie adalah putra Syarif Husin Al Qadrie yang menjadi
salah seorang penyebar agama Islam di Kalimantan Barat. Kawasan sekitar pusat
pemerintahan kesultanan Pontianak yang terletak dipinggiran Sugai Kapuas,
Kampung Kapur, Kampung Bansir, kampung Banjar Serasan dan Kampung Saigon sangat
kental pengaruh agama Islam. Daerah Kampung Kapur terdapat seorang guru ngaji
yang bernama Djafar pada jaman tersebut beliau salah seorang yang termasyhur,
sultan Pontianak Syarif Abdurrahman Al-Qadrie mengundang Djafar khusus menjadi
guru ngaji dilingkungan Keraton Kadriyah Pontianak (Usman dkk:1997).
2. Kerajaan
Jongkong (Embau)
Pada awalnya pendidikan dikerajaan ini didapatkan dari adanya
pendakwah-pendakwah yang datang dari luar. Namun, kemudian untuk perkembangan
Islam selanjutnya H. Ahmad dan teman-temannya membuka madrasah yang diberi nama
Hidayatul Mustaqim pada tanggal 9 November 1946, selain itu ada juga pengajian
keliling.(Hermansyah,dkk 2003:13) Sebelum H. Ahmad masyarakat pendapatkan
pengajaran dari mubaligh dan guru-guru agama yang mengajarkan Al-Qur,an, fiqh,
di rumah dan di mesjid (Yusriadi,dkk 2003:5). Para pengajar agama juga berupaya
menyepadukan ajaran Islam dengan kepercayaan lama yang berkembang di masyarakat
(Hermansyah:2003)
3. Kerajaan
Sambas
Pendidikan Islam di kerajaan Sambas dapat dilihat dari dua
tahap sebagai berikut:
Tahap pertama, yaitu pendidikan dilingkungan keluarga.
Pendidikan dilingkungan keluarga diberikan dalam bentuk pelajaran membaca
Al-Qur’an. Pendidikan seperti ini diberikan kepada anak dari sejak dini bagi
anak-anak berumur 5-10 tahun. Kegiatan yang biasa disebut “mengaji” ini
dilakukan secara berkelompok dirumah guru ngaji. Mula-mula anak di
ajari membaca huruf Hijaiyyah dengan cara mengeja satu demi satu huruf kemudian
merangkainya dengan kata sehingga terbentuk satu kesatuan kalimat. Apabila
huruf-huruf ini telah dikenal barulah pindah membaca Jus Amma, yaitu
jus ke-30 yang dibukukan tersendiri dan disebut juga Al-Qur’an kecil. Bagi anak
yang sudah lancar membaca dan telah tamat Juz Amma, guru ngaji biasanya
menyelenggarakan upacara penamatan yang disebut Khataman Al-Qur’an. Pada saat
acara Khataman Al-Qur,an orang tua murid ngaji masing-masing mengantarkan
hadiah berupa beras, kelapa, dan kain kepada guru ngaji. Besar kecilnya
pemberian dan upacara tergantung pada kemampuan orang tua murid
(Erwin,dkk 2005:18).
Jika anak telah tamat Al-Qur’an Kecil, selanjutnya anak
pindah untuk membaca Al-Qur’an Besar. Prosesi pengajaran Al-Qur’an besar,
pertama-tama guru membimbing sekali atau dua kali, lalu anak mengulangnya
beberapa kali sampai lancar. Pengetahuan membaca seperti ini ditingkatkan
dengan memberikan pengetahuan seni membaca. Akhirnya, anak mampu membaca
sendiri tanpa pembimbing. Disamping membaca anak-anak juga diberikan ilmu
tajwid. Waktu yang diperlukan untuk menamatkan seluruh bacaan tidak ditentukan
tergantung kemampuan membaca setiap anak. Namun, rata-rata mereka dapat
menamatkan bacaan Al-Qur’an antara 6-12 bulan (Erwin, dkk 2005:19).
Tahap kedua, pada tahap ini adanya pengakuan anggota
masyarakat atau lingkungan masyarakat terhadap kealiman dan keshalehan seorang
ustad atau syekh, sehingga anggota masyarakat mengirimkan anaknya untuk memperdalam
ilmu. Pada tahap ini anak-anak yang telah meningkat remaja diajari dasar-dasar
ilmu nahwu dan saraf.Selain itu juga di ajarkan semacam ilmu
usul yang berisi materi rukun iman dan rukun Islam. Kitab rujukan utamanya
adalah kitab Perukunan Melayu karya Arsyad al-Banjari. Selain
itu, terdapat juga pelajaran fikih yang termuat dalam kitab “1001
Masalah” yang amat praktis susunannya. Umumnya kitab-kitab rujukan ini
menggunakan bahasa Arab Jawi (berbahasa Melayu beraksara Arab) dan sering kali
tidak mencantumkan nama pengarangnya (anonymous). Selain ilmu fikih,terdapat
kecenderungan berkembangnya ilmu tasawuf (Erwin, dkk 2005:19).
Namun, ketika penguasa ke-8 kesultanan Sambas, Muruhum Anom
yang bergelar Sultan Muhammad Ali Tsafiuddin (berkuasa 1813-1826), mulai
membangun institusi keagamaan Islam di Istana dengan melantik H. Nuruddin
Mustafa sebagai imam kesultanan. Tugas imam adalah setiap hari datang ke istana
untuk memberikan pengajaran agama terutama pengajian al-Qur’an dan sembahyang
kepada kerabat Sultan (Machrus Effendy 1995:20). Dengan demikian, perkembangan
berikutnya istana dijadikan lembaga pendidikan dikalangan elit penguasa, selain
masjid. Lembaga pendidikan istana (palace school) inilah yang kemudian
berkembang menjadi madrasah al-Sutaniyah. Kemudian Muhammad Tsaifudin II
mendirikan madrasah al-Sultaniyah pada tahun 1868. Pada awalnya kurikulum
madrasah ini masih terbatas pada pelajaran Agama Islam. Peserta didiknya
pun hanya dari kalangan kesultanan, aktivitas pembelajaran masih didalam
istana. Namun setelah adanya pembauran dan adanya keinginan untuk membuat
madrasah ini semakin baik, mulailah dikelola namun setelah adanya pembauran dan
adanya keinginan untuk membuat madrasah ini semakin baik, mulailah dikelola
dengan memasukan kurikulum pendidikan barat disamping pendidikan Islam, agar
dapat menyaingi sekolah-sekolah milik kolonial Belanda. Lalu kemudian
sekolah ini diganti namanya menjadi Tarbiatoel Islam (Erwin, dkk 2005:21).
4. Kerajaan
Sintang
Pada saat itu kerajaan Sintang di pimpin oleh Sultan
Abdurrahman Muhammad Jalaluddin biasa disebut Sultan Aman, beliau memerintah
tahun 1150 sampai 1200 H. Raja ini sangat fanatik terhadap Islam. Pada masa
Sultan Aman ini Kerajaan Sintang didatangi dua orang ulama dari Aceh bernama
Penghulu Abbas dan Raja Dangki dari Negeri Pagaruyung. Penghulu Abbas kemudian
diangkat menjadi Penghulu Muda kerajaan dan Raja Dangki diangkat menjadi
panglima perang karena keahliannya dibidang pencak silat dan ilmu nujum. Karena
semangatnya mendakwah Islam, Sultan Aman mengirim utusan untuk menyebarkan
Islam di hulu Sungai Kapuas. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa
Sultan Aman juga memerangi orang-orang yang tidak mau masuk agama Islam (Hermansyah,dkk 2005:10).
Sumber :
http://senyumislam.wordpress.com/2012/09/10/perkembangan-islam-di-kalimantan-barat/
http://khuzmayudi.blogspot.com/2013/03/sejarah-pendidikan-islam-di-kalimantan.html
http://kesultanankadriah.blogspot.com/2011/01/islamsejarah-masuknya-ke-kalimantan.html
sumber foto :
http://melayuonline.com/ind/history/dig/386/kesultanan-kadriah
very good
ReplyDeletemaaf, setau saya.. islam masuk ke indonesia secara damai, tapi kenapa pada masa Sultan Aman di kerajaan Sintang, beliau memerangi orang yang tidak masuk islam? mohon penjelasannya, terimakasih :)
ReplyDeleteMaaf, bukannya Nyai Tua itu Ibu dari Syarief Abdurrahman al Kadri bukan istrinya?
ReplyDeleteMaaf, bukannya Nyai Tua itu Ibu dari Syarief Abdurrahman al Kadri bukan istrinya?
ReplyDeleteYang menikahi Nyai Tua , atau, Utin Kabanat, : Habib Husein bin Ahmad, bukan Sultan Abdurrahman. Tidak mungkin Sultan Abdurrahman menikahi Ibu nya sendiri?
ReplyDeletehttp://kesultanankadriah.blogspot.com/2011/01/kesultanan-kadriahqadriahdalam_1051.html, baca disini versi lengkapnya
ReplyDelete