Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Malaka ( Melaka )
Sejarah Kisah Kerajaan
Islam Kesultanan Malaka. Kesultanan Malaka merupakan salah satu kerajaan
islam yang juga mempunyai peran penting dalam proses penyebaran islam di
Indonesia. Kerajaan ini adalah sebuah Kerajaan Melayu yang berdiri di Malaka, Malaysia.
Kerajaan ini didirikan oleh Parameswara. Puncak
Kejayaan Kesultanan Malaka terjadi pada abad ke 15 dengan menguasai jalur
pelayaran Selat Malaka, sebelum ditaklukan oleh Portugal tahun
1511.
Kejatuhan Malaka ini menjadi pintu masuknya kolonialisasi Eropa di
kawasan Nusantara.
Kerajaan ini tidak meninggalkan bukti arkeologis yang cukup
untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah, namun keberadaan kerajaan
ini dapat diketahui melalui Sulalatus Salatin dan kronik Cina masa Dinasti Ming. Dari perbandingan dua sumber ini masih
menimbulkan kerumitan akan sejarah awal Malaka terutama hubungannya dengan
perkembangan agama Islam di Malaka serta rentang waktu dari pemerintahan
masing-masing raja Malaka. Pada awalnya Islam belum
menjadi agama bagi masyarakat Malaka, namun perkembangan
berikutnya Islam telah menjadi bagian dari kerajaan ini yang ditunjukkan oleh
gelar sultan yang disandang oleh penguasa Malaka berikutnya.
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Islam Samudera Pasai
Sejarah Pendirian Kerajaan Malaka
Menurut beberapa sumber, Kerajaan Malaka didirikan oleh
Parameswara antara tahun 1380-1403 M. Parameswara berasal dari Sriwijaya, dan
merupakan putra Raja Sam Agi yang masih beragama Hindu. Ia melarikan diri ke
Malaka karena kerajaannya (menurut beberapa sumber kerajaan yang dimaksud
adalah kerajaan Sriwijaya) di Sumatera runtuh akibat diserang Majapahit. Sebelumnya
Parameswara melarikan diri ke Pulau Singapura. Dari Singapura, ia menyingkir
lagi ke Malaka karena mendapat serangan dari Majapahit. Di Malaka ia membangun
pemukiman baru yang dibantu oleh orang-orang Palembang. Bahkan Parameswara
bekerja sama dengan kaum bajak laut (perompak). Ia memaksa kapal-kapal dagang
yang melewati Selat Malaka untuk singgah di pelabuhan Malaka guna mendapatkan
surat jalan.
Pada saat pendirian Malaka, terdapat beberapa penduduk asli
dari Suku Laut yang hidup sebagai nelayan. Mereka berjumlah lebih kurang tiga
puluh keluarga. Raja dan pengikutnya adalah rombongan pendatang yang memiliki
tingkat kebudayaan yang jauh lebih tinggi, karena itu, mereka berhasil
mempengaruhi masyarakat asli. Kemudian, bersama penduduk asli tersebut,
rombongan pendatang mengubah Malaka menjadi sebuah kota yang ramai. Selain
menjadikan kota tersebut sebagai pusat perdagangan, rombongan pendatang juga
mengajak penduduk asli menanam tanaman yang belum pernah mereka kenal
sebelumnya, seperti tebu, pisang, dan rempah-rempah.
Rombongan pendatang juga telah menemukan biji-biji timah di daratan. Dalam perkembangannya, kemudian terjalin hubungan perdagangan yang ramai dengan daratan Sumatera. Salah satu komoditas penting yang diimpor Malaka dari Sumatera saat itu adalah beras. Malaka amat bergantung pada Sumatera dalam memenuhi kebutuhan beras ini, karena persawahan dan perladangan tidak dapat dikembangkan di Malaka. Hal ini kemungkinan disebabkan teknik bersawah yang belum mereka pahami, atau mungkin karena perhatian mereka lebih tercurah pada sektor perdagangan, dengan posisi geografis strategis yang mereka miliki.
Rombongan pendatang juga telah menemukan biji-biji timah di daratan. Dalam perkembangannya, kemudian terjalin hubungan perdagangan yang ramai dengan daratan Sumatera. Salah satu komoditas penting yang diimpor Malaka dari Sumatera saat itu adalah beras. Malaka amat bergantung pada Sumatera dalam memenuhi kebutuhan beras ini, karena persawahan dan perladangan tidak dapat dikembangkan di Malaka. Hal ini kemungkinan disebabkan teknik bersawah yang belum mereka pahami, atau mungkin karena perhatian mereka lebih tercurah pada sektor perdagangan, dengan posisi geografis strategis yang mereka miliki.
Berdasarkan catatan Sulalatus Salatin kerajaan ini merupakan
kelanjutan dari Kerajaan Melayu di Singapura,
kemudian serangan majapahit dari Jawa dan Siam dari
Thailand menyebabkan pusat pemerintahan berpindah ke Malaka.
Masuknya Islam di
Malaka
Parameswara mulai resmi memerintah Malaka pada tahun 1400.
Menurut catatan Tome Pires, Parameswara memeluk Islam setelah menikah denan
puteri raja Samudera Pasai pada usia 72 tahun. Setelah itu, Parameswara
bergelar Muhammad Iskandar Syah. Namun, menurut Sejarah Melayu,
pengislaman Malaka berlangsung setelah Sri Maharaja, raja pengganti
Parameswara, berkenalan dengan Sayid Abdul Aziz dari Jedah, Arab.
Setelah masuk Islam, Sri Maharaja bergelar Sultan Muhammad Syah. Sebagian
sejarawan bahkan beranggapan bahwa ia merupakan raja Malaka yang pertama muslim.
Pendapat lain menyatakan, Malaka diislamkan oleh Samudera Pasai. Sri Maharaja
memerintah dari tahun 1414 hingga 1444. Ia lalu digantikan oleh Sri
Parameswara Dewa Syah, dikenal juga dengan nama Ibrahim Abu Said.
Parameswara Dewa Syah hanya memerintah satu tahun, hingga 1445. Yang kemudian
menjadi raja adalah Sultan Muzaffar Syah atau Kasim. Pada
masanya Malaka mencapai masa keemasannya. Ketika itu, wilayah Malaka melingkupi
Pahang, Trengganu, Pattani (sekarang termasuk wilayah Thailand), serta Kampar
dan Indragiri di Sumatera.
Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng
Ho pada 1409, mengambarkan Islam telah
mulai dianut oleh masyarakat Malaka, sementara berdasarkan catatan Ming,
penguasa Malaka mulai mengunakan gelar sultan muncul
pada tahun 1455. Sedangkan dalam Sulalatus Salatin gelar sultan sudah mulai
diperkenalkan oleh penganti berikutnya Raja Iskandar Syah, tokoh yang
dianggap sama dengan Parameswara oleh beberapa
sejarahwan. Sementara dalam Pararaton disebutkan
terdapat nama tokoh yang mirip yaitu Bhra Hyang Parameswara sebagai
suami dari Ratu Majapahit, Ratu
Suhita. Namun kontroversi identifikasi tokoh ini masih diperdebatkan sampai
sekarang.
Pada tahun 1414 Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah, memerintah selama 10
tahun, kemudian menganut agama Islam dan digantikan oleh Sri
Maharaja atau Sultan Muhammad Syah. Putra Muhammad Syah
yang kemudian menggantikannya, Raja Ibrahim, mengambil gelar Sri Parameswara Dewa Syah. Namun masa
pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445.
Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah.
Asal Muasal Kata
Melaka
Menurut Sejarah Melayu (Malay Annals) yang ditulis Tun Sri
Lanang pada tahun 1565, Parameswara melarikan diri dari Tumasik, karena
diserang oleh Siam. Dalam pelarian tersebut, ia sampai ke Muar, tetapi ia
diganggu biawak yang tidak terkira banyaknya. Kemudian ia pindah ke Burok dan
mencoba untuk bertahan disitu, tapi gagal. Kemudian Parameswara berpindah ke
Sening Ujong hingga kemudian sampai di Sungai Bertam, sebuah tempat yang
terletak di pesisir pantai. Orang-orang Seletar yang mendiami kawasan tersebut
kemudian meminta Parameswara menjadi raja. Suatu ketika, ia pergi berburu. Tak
disangka, dalam perburuan tersebut, ia melihat salah satu anjing buruannya
ditendang oleh seekor pelanduk. Ia sangat terkesan dengan keberanian pelanduk
tersebut. Saat itu, ia sedang berteduh di bawah pohon Malaka. Maka, kawasan
tersebut kemudian ia namakan Malaka.
Dalam versi lain, dikatakan bahwa sebenarnya nama Malaka
berasal dari bahasa Arab Malqa, artinya tempat bertemu. Disebut demikian,
karena di tempat inilah para pedagang dari berbagai negeri bertemu dan
melakukan transaksi niaga. Demikianlah, entah versi mana yang benar, atau boleh
jadi, ada versi lain yang berkembang di masyarakat.
Hubungan Kekerabatan Kerajaan
Malaka Dengan Kekuatan Regional
Kronik Dinasti Ming mencatat Parameswara sebagai pendiri Malaka mengunjungi Kaisar Yongle di Nanjing pada
tahun 1405 dan meminta pengakuan atas wilayah kedaulatannya. Sebagai
balasan upeti yang diberikan, Kaisar Cina menyetujui untuk
memberikan perlindungan pada Malaka, kemudian tercatat ada sampai 29 kali
utusan Malaka mengunjungi Kaisar Cina. Pengaruh yang besar dari relasi ini
adalah Malaka dapat terhindar dari kemungkinan adanya serangan Siam dari utara,
terutama setelah Kaisar Cina mengabarkan penguasa Ayutthaya akan hubungannya dengan
Malaka. Keberhasilan dalam hubungan diplomasi dengan Tiongkok memberi
manfaat akan kestabilan pemerintahan baru di Malaka, kemudian Malaka berkembang
menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara, dan juga menjadi salah satu
pangkalan armada Ming.
Sampai tahun 1435, Malaka memiliki hubungan yang dekat
dengan Dinasti Ming, armada Ming berperan mengamankan jalur
pelayaran Selat Malaka yang sebelumnya sering diganggu oleh
adanya kawanan perompak dan bajak laut. Di bawah perlindungan Ming, Malaka
berkembang menjadi pelabuhan penting di pesisir barat Semenanjung Malaya yang tidak dapat
disentuh oleh Majapahit dan Ayutthaya. Namun seiring
berubahnya kebijakan luar negeri Dinasti Ming, Kawasan ujung
tanah ini terus diklaim oleh Siam sebagai bagian dari kedaulatannya sampai
Malaka jatuh ke tangan Portugal, dan setelah takluknya Malaka, kawasan Perlis, Kelantan, Terengganu dan Kedah kemudian
berada dalam kekuasaan Siam.
Sulalatus Salatin juga
mengambarkan kedekatan hubungan Malaka dengan Pasai, hubungan kekerabatan ini dipererat dengan
adanya pernikahan putri Sultan Pasai dengan Raja Malaka dan kemudian Sultan
Malaka pada masa berikutnya juga turut memadamkan pemberontakan yang terjadi di
Pasai. Ma Huan juru tulis Cheng
Ho menyebutkan adanya kemiripan adat istiadat Malaka dengan Pasai serta ke dua kawasan tersebut telah menjadi tempat pemukiman komunitas muslim di Selat Malaka. Sementara kemungkinan ada ancaman
dari Jawa dapat
dihindari, terutama setelah Sultan Mansur Syah membina hubungan
diplomatik dengan Batara Majapahit yang kemudian meminang dan
menikahi putri Raja Jawa tersebut. Selain itu sekitar tahun 1475 di Jawa
juga muncul kekuatan muslim di Demak yang nanti turut melemahkan hegemoni
Majapahit atas kawasan yang mereka klaim sebelumnya sebagai daerah bawahan.
Adanya keterkaitan Malaka dengan Demak terlihat setelah jatuhnya Malaka kepada
Portugal, tercatat ada beberapa kali pasukan Demak mencoba merebut kembali
Malaka dari tangan Portugal.
Laksamana Panglima
Angkatan Laut Hang Tuah
Salah satu laksamana palingma angkatan laut Malaka yang
terkenal adalah Hang Tuah. Hang Tuah lahir di Sungai Duyung Singkep. Ayahnya
bernama Hang Machmud dan ibunya bernama Dang Merdu. Kedua orang tuanya adalah
rakyat biasa yang hidup sebagai petani dan penangkap ikan.
Keluarga Hang Tuah kemudian pindah ke Pulau Bintan. Di
sinilah ia dibesarkan. Dia berguru di Bukit Lengkuas, Bintan Timur. Pada usia
yang masih muda, Hang Tuah sudah menunjukkan kepahlawanannya di lautan. Bersama
empat orang kawan seperguruannya, yaitu Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir,
dan Hang Lekiyu, mereka berhasil menghancurkan perahu-perahu bajak laut di
sekitar perairan dan selat-selat di Kepulauan Riau, sekalipun musuh mereka jauh
lebih kuat.
Karena kepahlawanan Hang Tuah dan kawan-kawannya tersebut,
maka Sultan Kerajaan Malaka mengangkat mereka sebagai prajurit kerajaan. Hang
Tuah sendiri kemudian diangkat menjadi Laksamana Panglima Angkatan Laut
Kerajaan Malaka. Sedangkan empat orang kawannya tersebut di atas, kelak menjadi
prajurit Kerajaan Malaka yang tangguh.
Dalam pengabdiannya demi kebesaran Malaka, Laksamana Hang
Tuah dikenal memiliki semboyan berikut.
1. Esa hilang dua terbilang
2. Tak Melayu hilang di bumi.
3. Tuah sakti hamba negeri.
2. Tak Melayu hilang di bumi.
3. Tuah sakti hamba negeri.
Hingga saat ini, orang Melayu masih mengagungkan Hang Tuah,
dan keberadaanya hampir menjadi mitos. Namun demikian, Hang Tuah bukanlah
seorang tokoh gaib. Dia meninggal di Malaka dan dimakamkan di tempat asalnya,
Sungai Duyung di Singkep.
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Demak
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Demak
Masa Kejayaan
Masa kejayaan kerajaan Malaka terjadi sekitar abad 15. Pada
masa pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah, Malaka melakukan
ekspansi di Semenanjung Malaya dan pesisir timur pantai Sumatera,
setelah sebelumnya berhasil mengusir serangan Siam. Di
mulai dengan menyerang Aru yang disebut sebagai kerajaan
yang tidak menjadi muslim dengan baik. Penaklukan Malaka atas
kawasan sekitarnya ditopang oleh kekuatan armada laut yang kuat pada masa
tersebut serta kemampuan mengendalikan Orang
Laut yang tersebar antara kawasan pesisir timur Pulau Sumatera sampai Laut Cina Selatan. Orang laut ini berperan
mengarahkan setiap kapal yang melalui Selat Malaka untuk singgah di Malaka
serta menjamin keselamatan kapal-kapal itu sepanjang jalur pelayarannya setelah
membayar cukai di Malaka.
Di bawah pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta pada
tahun 1459, Sultan Mansur Syah, Melaka
menyerbu Kedah dan Pahang,
dan menjadikannya negara vassal. Di bawah sultan yang sama Kampar,
dan Siak juga
takluk. Sementara kawasan Inderagiri dan Jambi merupakan
hadiah dari Batara Majapahit untuk Raja Malaka. Sultan Mansur
Syah kemudian digantikan oleh putranya Sultan Alauddin Syah namun
memerintah tidak begitu lama karena diduga ia diracun sampai meninggal dan
kemudian digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Syah.
Hingga akhir abad ke-15 Malaka telah menjadi kota pelabuhan
kosmopolitan dan pusat perdagangan dari beberapa hasil bumi seperti emas,
timah, lada dan kapur. Malaka muncul sebagai kekuatan utama dalam penguasaan
jalur Selat Malaka, termasuk mengendalikan kedua pesisir
yang mengapit selat itu.
Masa Penurunan
Kerajaan Malaka mengalami kemunduran ketika terjadinya
serangan oleh Portugal. Sultan Mahmud Syah memerintah Malaka sampai tahun 1511,
saat ibu kota kerajaan tersebut diserang pasukan Portugal di
bawah pimpinan Afonso de Albuquerque. Serangan
dimulai pada 10 Agustus 1511 dan
pada 24 Agustus 1511 Malaka
jatuh kepada Portugal. Sultan Mahmud Syah kemudian melarikan diri ke Bintan dan menjadikan kawasan tersebut sebagai
pusat pemerintahan baru. Perlawanan terhadap penaklukan Portugal
berlanjut, pada bulan Januari 1513 Patih Yunus dengan pasukan dari Demak berkekuatan 100 kapal 5000 tentara
mencoba menyerang Malaka, namun serangan ini berhasil dikalahkan oleh
Portugal. Selanjutnya untuk memperkuat posisinya di Malaka, Portugal
menyisir dan menundukkan kawasan antara Selat Malaka. Pada bulan Juli 1514, de Albuquerque
berhasil menundukkan Kampar, dan Raja Kampar menyatakan kesediaan dirinya
sebagai vazal dari Portugal di Malaka.
Sejak tahun 1518 sampai 1520, Sultan Mahmud Syah kembali
bangkit dan terus melakukan perlawanan dengan menyerang kedudukan Portugal di
Malaka. Namun usaha Sultan Malaka merebut kembali Malaka dari Portugal gagal.
Di sisi lain Portugal juga terus memperkokoh penguasaannya atas jalur pelayaran
di Selat Malaka. Pada pertengahan tahun 1521, Portugal
menyerang Pasai, sekaligus
meruntuhkan kerajaan yang juga merupakan sekutu dari
Sultan Malaka.
Selanjutnya pada bulan Oktober 1521, pasukan Portugal
dibawah pimpinan de Albuquerque mencoba menyerang Bintan untuk meredam
perlawanan Sultan Malaka, namun serangan ini dapat dipatahkan oleh Sultan
Mahmud Syah. Namun dalam serangan berikutnya pada 23
Oktober 1526 Portugal berhasil membumihanguskan Bintan, dan Sultan
Malaka kemudian melarikan diri ke Kampar,
tempat dia wafat dua tahun kemudian. Berdasarkan Sulalatus Salatin Sultan Mahmud Syah
kemudian digantikan oleh putranya Sultan
Alauddin Syah yang kemudian tinggal di Pahang beberapa
saat sebelum menetap di Johor. Kemudian pada masa berikutnya para
pewaris Sultan Malaka setelah Sultan Mahmud Syah lebih dikenal
disebut dengan Sultan Johor.
Pemerintahan
Sistem pemerintahan kerajaan malaka tidak sepenuhnya
berdasarkan pemerintahan Islam sepenuhnya, walaupun kerajaan ini merupakan
kerajaan Islam. Undang-undang yang berlaku di Malaka seperti Hukum Kanun
Malaka hanya 40,9% mengikut aturan Islam. Begitu juga Undang-undang Laut
Malaka hanya 1 pasal dari 25 pasal yang mengikut aturan Islam.
Kesultanan Malaka dalam urusan kenegaraan telah memiliki
susunan tata pemerintahan yang rapi. Sultan Malaka memiliki kekuasaan yang
absolut, seluruh peraturan dan undang-undang merujuk kepada Raja Malaka.
Sementara dalam administrasi pemerintahan Sultan Malaka dibantu oleh beberapa
pembesar, antaranya Bendahara, Tumenggung, Penghulu
Bendahari dan Syahbandar. Kemudian terdapat lagi beberapa menteri yang
bertanggungjawab atas beberapa urusan negara. Selain itu terdapat
jabatan Laksamana yang pada awalnya diberikan kepada kelompok
masyarakat Orang Laut.
Daftar raja Malaka
Berikut daftar raja Malaka
Periode
|
Nama Raja
|
Catatan dan peristiwa penting
|
1405-1414
|
Pai-li-mi-sul-la*
Parameswara Raja Iskandar Syah** Paramicura**** |
Berkunjung ke Nanjing dan
minta pengakuan Kaisar Cina
|
1414-1424
|
Mu-kan-sa-yu-ti-er-sha*
Megat Iskandar Syah Raja Kecil Besar** Raja Besar Muda*** Chaquem Daraxa**** |
Berkunjung ke Nanjing dan
mengabarkan kematian bapaknya
|
1424-1444
|
Hsi-li-ma-ha-la-che*
Sri Maharaja Sultan Muhammad Syah** Raja Tengah*** |
|
1444-1445
|
Hsi-li-pa-mi-hsi-wa-er-tiu-pa-sha*
Sri Parameswara Dewa Syah Sultan Abu Syahid** Sultan Muhammad Syah*** |
|
1446-1459
|
Su-lu-t'an-wu-ta-fo-na-sha*
Sultan Mudzaffar Syah** Sultan Modafaixa**** |
|
1459-1477
|
Sultan Mansur Syah**
|
|
1477-1488
|
Sultan Alauddin Riayat
Syah**
|
|
1488-1511
|
Sultan Mahmud Syah**
|
|
Catatan:
* Berdasarkan kronik Cina masa Dinasti Ming. ** Berdasarkan Sulalatus Salatin versi Raffles. *** Berdasarkan Sulalatus Salatin versi William Shellabear. **** Berdasarkan Suma Oriental Tomé Pires.
sumber : wikipedia
|
Wilayah Kekuasaan.
Pada masa kejayaannya, Malaka mempunyai wilayah kekuasaan
atas daerah-daerah berikut:
1. Semenanjung Tanah Melayu (Patani, Ligor, Kelantan,
Trenggano, dan sebagainya).
2. Daerah Kepulauan Riau.
3. Pesisir Timur Sumatra bagian tengah.
4. Brunai dan Serawak.
5. Tanjungpura (Kalimantan Barat).
Sedangkan daerah yang diperoleh dari Majapahit secara
diplomasi adalah sebagai berikut.
1. Indragiri.
2. Palembang.
3. Pulau Jemaja, Tambelan, Siantan, dan Bunguran.
Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Melaka
http://smakita.net/kerajaan-islam-di-sumatera/
http://rismaeffendy.blogspot.com/2010/05/sejarah-kerajaan-malaka.html
0 Response to "Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Malaka ( Melaka )"
Post a Comment
Tinggalkan Komentar Anda