Sejarah Perkembangan Islam di Sulawesi Utara

Sejarah Masuknya Agama Islam di Minahasa Sulawesi Utara yaitu sekitar tahun 1525 melalui BELANG, yang dibawah oleh orang-orang Bolaang Mongondow. Dan mulai berkembang ketika datangnya pejuang-pejuang kemerdekaan yg dibuang/ditawan oleh penjajah Belanda, antara lain Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, bersama pengikutnya. Selain melalui para pahlawan yang diasingkan ke Tondano, arah lain masuknya islam  melalui para pedagang Arab yang singgah di pesisir daerah Manado. Disamping berdagang mereka juga menyiarkan ajaran agama Islam.Kemudian Islam masuk di Manado juga melalui jalur pernikahan.

Berikut para pejuang yang diasingkan ke Kampung Jawa Tondano yang menjadi awal perkembangan islam di Minahasa Sulawesi Utara:

Kyai Modjo Di Tondano – Minahasa
kyai ModjoKyai Modjo mempelajari agama Islam dengan berguru kepada Kyai Syarifudin di Gading Santren Klaten. Setelah dewasa, ia berguru kepada kyai di Ponorogo. Disinilah Kyai Mojo mendapatkan pengajaran tentang ilmu kanuragan. Sejak saat itulah beliau terkenal akan kesaktiannya, di samping terkenal akan pendidikan agama dan pesantrennya. Ia termasuk salah seorang kepercayaan Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwono VIPB VI. Beliaulah yang mendirikan Kampung Jawa Tondano di Minahasa dan menjadi awal masuknya Agama Islam di Minahasa. Di Tondano beliau menyalurkan ilmu kesaktiannya (yang dipelajarinya di Ponorogo) kepada pengikutnya dalam bentuk ilmu bela diri dan kemudian menjadi cikal bakal pencak silat. Kyai Modjo lahir sekitar tahun 1792 dan kemudian menjadi guru agama Pajang dekat Delanggu, Surakarta. Nama sebenarnya adalah Muslim Mochammad Khalifah.

Baca Juga : Sejarah Perkembangan Islam di Kerajaan Gorontalo

Sepeniggal ayahnya, Kyai Modjo melanjutkan tugas ayahnya sebagai guru agama di pesantren Modjo di mana banyak putra dan putri dari kraton SoloKraton Yogyakarta kemungkinan membuat pangeran diponegoro memilih Kyai Modjo sebagai penasehat agamanya sekaligus panglima perangnya.
Setelah di tangkap oleh Belanda pada 17 Nopember 1828 di dusun Kembang Arum, Jawa Tengah, Kyai Modjo dibawa ke Batavia dan selanjutnya diasingkan ke Tondano – Minahasa (Sulawesi Utara) hingga wafat di sana pada tanggal 20 Desember 1849 dalam usia 57 tahun.

Ikut bersama beliau dalam pengasingan di Tondano adalah satu putranya (Gazaly), 5 orang kerabat dekat – ada pertalian darah (Tumenggung Reksonegoro Kyai Pulukadang, Tumenggung Zess Pajang, Ilyas Zess, Wiso/Ngiso Pulukadang, dan Kyai Baderan/Kyai Sepuh) serta lebih dari 50 orang pengikut lainnya yang semuanya laki-laki. Istri beliau menyusul ke Tondano setahun kemudian.

Tahun 1846 : Kyai Hasan Maulani (Asal Lengkong Cirebon)
Kyai Hasan Maulani adalah guru sekaligus pendiri tarekat Akamaliyah di Cirebon. Akmaliyah merupakan tarekat yang kental dengan ajaran wahdatul wujud dan sinkretisme Jawa. Banyaknya pengikut tarekat Akmaliyah ini menakutkan para penjajah Belanda saat itu, sehingga mendorong Belanda untuk mengasingkan Kyai Hasan Maulani ke Tondano pada tahun 1846.

Tahun 1848 : Pangeran Ronggo Danupoyo (Asal Surakarta Jawa tengah)
Pangeran Ronggo Danupoyo diasingkan ke Tondano karena beliau menentang kebijakan Belanda. Ronggo Danupoyo adalah anak dari Pangeran Aryo Danupoyo atau cucu dari Sunan Pakubuwono IV di Surakarta Jawa Tengah. Di kampung Jawa Tondano Ronggo Danupoyo menikah dengan putri dari Suratinoyo dan memperoleh 6 orang anak, salah satu anaknya kembali ke Jawa sedangkan 5 anaknya yang lain (2 laki dan 3 perempuan) tetap tinggal di kampung Jawa Tondano. Dari 2 orang anak laki-lakinya (Raden Glemboh dan Raden Intu) menurunkan keluarga (fam) Danupoyo.




Tahun 1850-an : Imam Bonjol (Asal Sumatra Barat)
imam bonjol
Peto Syarif yang kemudian lebih dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol dilahirkan pada tahun 1772 di kampung Tanjung Bunga, Kabupaten Pasaman Sumatra Barat. Ia dilahirkan dalam lingkungan agama. Mula-mula ia belajar agama dari ayahnya, Buya Nudin. Kemudian dari beberapa orang ulama lainnya, seperti Tuanku Nan Renceh. Imam Bonjol adalah pendiri negeri Bonjol. Dia adalah pemimpin yang peling terkenal dalam gerakan Padri di Sumatra, yang pada mulanya menentang perjudian, adu ayam, penggunaan opium, minuman keras, tembakau dan lain-lain, tetapi kemudian mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda, yang mengakibatkan perang Padri (1821-1838).

Tahun 1837, desa Imam Bonjol berhasil diambil alih oleh Belanda, dan Imam Bonjol akhirnya menyerah. Beliau kemudian diasingkan di beberapa tempat, dan pada akhirnya dibawah ke Minahasa. Di sana Tuanku Imam Bonjol wafat tanggal 6 November 1864 dalam usia 92 tahun, dikebumikan didesa Lotak Pineleng berjarak 25 km dari Tondano ke arah Manado. Beberapa pengikut Imam Bonjol kemudian menikah dengan wanita kampung Jawa Tondano adalah Mallim Muda (menikah dengan cucu Kyai Demak), Haji Abdul Halim (menikah dengan Wonggo-Masloman), Si Gorak Panjang (menikah dengan putri Nurhamidin), dan Malim Musa. Dari mereka menurunkan keluarga (fam) Baginda di Minahasa.

Tahun 1861 : K.H. Ahmad Rifa’i (Asal Kendal, Jawa Tengah)
Kyai Haji Ahmad Rifa’i dilahirkan pada 9 Muharam 1200 H atau 1786 di desa Tempuran Kabupaten Semarang. Beliau seorang ulama keturunan Arab, memimpin suatu pesantren di Kendal Jawa Tengah. Setelah beberapa kali keluar masuk penjara Kendal dan Semarang karena dakwanya tegas, dalam usia 30 tahun.

K.H Ahmad Rifa’i wafat di Kampung Jawa Tondano pada Kamis 25 Robiul Akhir 1286 H atau tahun 1872 (usia 86 tahun) dan dimakamkan dikomplek makam Kyai Modjo
Pada Tahun 1859 Ahmad Rifa’i diasingkan Belanda ke Ambon, kemudian diasingkan lagi ke Tondano pada tahun 1861 bergabung dengan group Kyai Modjo. Di Kampung Jawa Tondano K.H Ahmad Rifa’i menciptakan kesenian terbang (rebana) disertai dengan lagu-lagu, syair-syair, nadzam-nadzam yang diambil dari kitab karangannya.

Tahun 1880: Sayid Abdullah Assagaf (Asal Palembang, Sumatra selatan).
Keberadaan Abdullah Assagaf di Kampung Jawa Tondano telah mendistorsi budaya Kampung Jawa Tondano yang semula sangat kental dengan budaya Jawa. Abdullah Assagaf berhasil mentransfer dan mengawinkan budaya Arab-Sumatra dengan budaya Jawa dan melahirkan budaya Jaton generasi ketiga.

Sayed Abdullah Assagaf adalah orang Arab yang lahir di Palembang, Sumatra Selatan. Belanda mengasingkannya ke Tondano pada tahun 1880 kerana menganggapnya menghasut masyarakat untuk melawan Belanda. Di Palembang Assagaf konon ia menikah dengan wanita Belanda (Nelly Meijer) putri Residen Bengkulu. Dari perkawinannya dengan wanita Belanda ini ia memperoleh satu orang anak laki-laki (Raden Nguren/Nuren). Sebelum nenikah dengan Assagaf, Nelly Meijer adalah janda beranak satu dari perkawinannya dengan adik Sultan Palembang (Mahmud Badaruddin II). Nelly Meijer dan kedua anaknya kemudian menyusul ke Kampung Jawa Tondano dan Raden Nuren kemudian menikah dengan wanita Minahasa asal Remboken. Anak Nelly Meijer yang satunya lagi (hasil perkawinan dengan adik sultan Palembang) menikah di Kampung Jawa Tondano dan menurunkan keluarga (fam) Catradiningrat.

Di Kampung Jawa Tondano Sayed Abdullah Assagaf menikah (lagi) dengan Ramlah Suratinoyo dan memiliki 7 orang anak, dan dari mereka menurunkan keluarga (fam) Assagaf.

Tahun 1884:Gusti (Pangeran) Perbatasari (Banjarmasin, Kalimantan).
Pangeran Perbatasari melakukan pemberontakan tehadap Belanda namun kemudian ia ditangkap di daerah Kutai ketika dalam perjalanan membeli persenjataan dan tahun 1884 diasingkan ke Kampung Jawa Tondano. Di Kampung Jawa Tondano Pangeran Perbatasari menikah dengan wanita Jawa Tondano. Satu orang saudara laki-lakinya (Gusti Amir) kemudian menysul ke Kampung Jawa Tondano dan menikah dengan wanita Jawa Tondano (fam.Sataruno).

Pangeran Perbatasari melakukan pemberontakan terhadap Belanda namun kemudian ia tertangkap di daerah Kutai ketika dalam perjalanan membeli persenjataan dan tahun 1884 diasingkan ke kampung Jawa tondano.

Di Kampung jawa Tondano Pangeran Perbatasari menikah dengan dengan wanita JATON. Satu orang saudara laki-lakinya (Gusti Amir) kemudian menyusul ke Kampung Jawa Tondano dan menikah dengan wanita JATON (fam.Sataruno).

Tahun 1889 : Banten Group.
Pada tanggal  9 Juli 1888 di Cilegon (Banten – Jawa Barat) meletus perlawanan rakyat (disebut Geger Cilegon) terhapap pemerintah colonial Belanda. Geger Cilegon dipimpin oleh pemuka islam Cilegon antara lain Haji Abdul karim (pemimpin tarekat di Lempuyang), Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid (pemimpin pesantren di Beji-Bojonegara, beliau murid Syekh Nawawi Al Bantani). Pada saat itu Banten sedang dihadapi bencana besar. Setelah meletusnya Gunung Karakatau pada tahun 1883 yang merenggut 20.000 juta jiwa lebih, disusul dengan berjangkitnya wabah penyakit hewan (1885) pada saat itu masyarakat banyak yang percaya pada tahayul dan perdukunan.

Selain itu, penyebab terjadinya persitiwa berdarah, Geger Cilegon adalah dihancurkannya menara langgar di desa Jombang Wetan atas perintah Asisten Residen Goebel. Goebel menganggap menara tersebut mengganggu ketenangan masyarakat, karena kerasnya suara. Selain itu Goebel juga melarangang Shalawat, Tarhim dan Adzan dilakukan dengan suara yang keras.

Kelakuan kompeni yang keterlaluan membuat rakyat melakukan pemberontakan. Pada hari Senin tanggal 9 Juli 1888 diadakan serangan umum. Dengan memekikan Takbir para ulama dan murid-muridnya menyerbu beberapa tempat yang ada di Cilegon. Pada peristiwa tersebut Henri Francois Dumas - juru tulis Kantor Asisten residen – dibunuh oleh Haji Tubagus Ismail. Demikian pula Raden Purwadiningrat, Johan Hendrik Hubert Gubbels, Mas Kramadireja dan Ulrich Bachet, mereka adalah orang-orang yang tidak disenangi oleh masyarakat. Cilegon dapat dikuasai oleh para pejuang “Geger Cilegon”. Tak lama kemudian datang 40 orang serdadu kompeni yang dipimpin oleh Bartlemy. Terjadi pertempuran hebat dengan persenjataan yang tak seimbang antara para pejuang dengan serdadu kompeni. hingga akhirnya pemberontakan tersebut dapat dipatahkan.

Haji Wasid dihukum gantung. Sedangkan yang lainnya dihukum buang. Diantaranya adalah Haji Abdurrahman dan Haji Akib dibuang ke Banda. Haji Haris ke Bukittinggi Haji Arsyad thawil ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir ke Buton, Haji Ismail ke flores, selainnya dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Manado, Ambon dan lain-lain. Semua pemimpin yang dibuang berjumlah 94 orang.
Dari jumlah tersebut ada 4 orang yang dibuang ke kampung Jawa Tondano dan kemudian menikah dengan wanita Jaton, mereka adalah Haji Abdul Karim (menikah dengan fam Haji Ali) keturunannya menggunakan fam Aslah, Haji Muhammad Asnawi (menikah dengan fam Haji Ali) , Haji Jafar (menikah dengan fam Maspekeh) dan Haji Mardjaya. Keturunan mereka menggunakan fam Tubagus.

Tahun 1895: Tengku Muhammad / Umar (Asal Aceh).
Tengku Muhammad atau Tengku Umar (bukan Tengku Umar pahlawan Aceh) diketahui tidak mempunyai keturunan di jaton.

Tahun 1900: Haji Saparua (Asal Maluku).
Haji saparua menikah di Tondano (Babcock, 1989) namun tidak ada catatan mengenai keturunannya.

Referensi :
http://addie120212.blogspot.com/2013/07/sejarah-masuknya-islam-di-manado.html
http://putrahermanto.wordpress.com/2012/05/22/sejarah-islam-di-minahasa-sulawesi-utara/

0 Response to "Sejarah Perkembangan Islam di Sulawesi Utara"

Post a Comment

Tinggalkan Komentar Anda

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel