Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Serdang Sumatera Utara
bendera kesultanan serdang foto : wikipedia |
Sejarah Kerajaan
Islam Kesultanan Serdang. Kesultanan Serdang berdiri tahun 1723 di Sumatera
Utara. Awalnya kerajaan ini adalah bagian dari kesultanan Deli namun Kesultanan
ini berpisah dari Deli setelah sengketa tahta kerajaan pada tahun 1720. Seperti
kerajaan-kerajaan lain di pantai timur Sumatera, Serdang menjadi makmur karena
dibukanya perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit.
Sejarah Pendirian
Sejarah berdirinya kesultanan serdang berawal dari Kemelut
di tubuh Kesultanan Deli. Dalam perkembangannya, pada tahun 1723 terjadi
kemelut ketika Tuanku Panglima Paderap, Raja Deli ke-3 mangkat. Kemelut ini
terjadi karena putera tertua Raja yang seharusnya menggantikannya memiliki
cacat di matanya, sehingga tidak bisa menjadi raja. Putera nomor 2, Tuanku
Pasutan yang sangat berambisi menjadi raja kemudian mengambil alih tahta dan
mengusir adiknya, Tuanku Umar bersama ibundanya Permaisuri Tuanku Puan Sampai
ke wilayah Serdang. Disinilah awal cikal bakal terbentuknya kesultanan Serdang.
Menurut adat Melayu, sebenarnya Tuanku Umar yang seharusnya
menggantikan ayahnya menjadi Raja Deli, karena ia putera garaha (permaisuri),
sementara Tuanku Pasutan hanya dari selir. Tetapi, karena masih di bawah umur,
Tuanku Umar akhirnya tersingkir dari Deli. Untuk menghindari agar tidak terjadi
perang saudara, maka 2 Orang Besar Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja
Urung Senembal, bersama seorang Raja Urung Batak Timur di wilayah Serdang
bagian hulu (Tanjong Merawa), dan seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu),
lalu merajakan Tuanku Umar sebagai Raja Serdang pertama tahun 1723. Sejak saat
itu, berdiri Kerajaan Serdang sebagai pecahan dari Kerajaan Deli.
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Deli
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Deli
Wilayah Kekuasaan
Kesultanan Serdang memiliki wilayah yang meliputi Batang
Kuis, Padang, Bedagai, Percut, Senembah, Araskabu dan Ramunia. Kemudian wilayah
Perbaungan juga masuk dalam Kesultanan Serdang karena adanya ikatan perkawinan.
Penggabungan dengan Kerajaan
Perbaungan
Kesultanan Serdang berdiri lebih dari dua abad, dari 1723
hingga 1946. Selama itu, terdapat 5 Sultan yang berkuasa. Sultan Serdang I
adalah Tuanku Umar, kemudian ia digantikan oleh Tuanku Sultan Ainan Johan
Almashah (1767-1817). Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah beristerikan Tuangku
Sri Alam, puteri Raja Perbaungan. Di masa Sultan Ainan Johan ini, terjadi
penyatuan Kerajaan Serdang dan Perbaungan.
Ceritanya, sewaktu Raja Perbaungan
meninggal dunia, tidak ada orang yang berhak menggantikannya, sebab ia tidak
memiliki anak laki-laki. Oleh karena anak perempuan Raja Perbaungan menikah
dengan Sultan Serdang. Dari pernikahan ini maka Kerajaan Perbaungan digabung
dengan Serdang.
Putera Ainan Johan Almashah yang tertua, Tuanku Zainal
Abidin, diangkat menjadi Tengku Besar. Suatu ketika ia pergi berperang membantu
mertuanya yang sedang terlibat perang saudara merebut tahta Langkat. Dalam
peperangan membela mertuanya tersebut, ia terbunuh di Pungai (Langkat) dan
digelar Marhom Mangkat di Pungai (1815). Untuk menggantikan putera mahkota (di
Serdang disebut Tengku Besar) yang tewas, maka, adik putera mahkota, yaitu
Tuanku Thaf Sinar Basyarshah kemudian diangkat sebagai penggantinya, dengan gelar
yang sama yaitu Tengku Besar.
Sultan Thaf Sinar
Basyar Syah
lambang kesultanan serdang foto : wikipedia |
Ketika Sultan Johan Alamshah mangkat tahun 1817, adik
Tuangku Zainal Abidin, yaitu Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarsyah (memerintah
1817-1850) diangkat oleh Dewan Orang Besar menjadi raja menggantikan ayahnya.
Ketika itu, sebenarnya Tuanku Zainal Abidin, Tengku Besar yang sudah tewas,
memiliki putera, namun puteranya ini tidak berhak menjadi raja, sebab, ketika
ayahnya meninggal dunia, statusnya masih sebagai Tengku Besar, bukan raja. Jadi,
menurut adat Melayu Serdang, keturunan putera tertua tidak otomatis menjadi
raja, karena sebab-sebab tertentu.
Struktur Pemerintahan
Struktur pemerintahan tertinggi di Kesultanan Serdang
dipimpin oleh seorang Raja. Dan masa itu peran dari seorang raja adalah:
- Sebagai Kepala Pemerintahan Kerajaan Serdang.
- Sebagai Kepala Agama Islam (Khalifatullah fi’l ardh)
- Sebagai Kepala Adat Melayu.
Lembaga Orang Besar
Berempat
Masa pemerintahan raja Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah
(1767-1817) raja Serdang yang ke-2, , tersusunlah Lembaga Orang Besar Berempat
di Serdang yang berpangkat Wazir Sultan, yaitu:
- Raja Muda (gelar ini kemudian berubah menjadi Bendahara)
- Datok Maha Menteri (wilayahnya di Araskabu)
- Datok Paduka Raja (wilayahnya di Batangkuwis) keturunan Kejeruan Lumu
- Sri Maharaja (wilayahnya di Ramunia).
Pembentukan Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang ini,
disebabkan Raja Urung Sunggal kembali ke Deli, sementara Raja Urung Senembah
dan Raja Urung Tg. Merawa tetap menjadi raja di wilayah taklukan Serdang.
Sultan Ainan Johan Almashah memperkokoh Lembaga Empat Orang
Besar di atas berdasarkan fenomena alam dan hewan yang melambangkan kekuatan,
seperti 4 penjuru mata angin (barat, timur, selatan, utara), kokohnya 4 kaki
binatang dan azas Tungku Sejarangan (4 batu penyangga untuk masak makanan).
Lembaga itu juga melambangkan sendi kekeluargaan pada masyarakat Melayu
Sumatera Timur yaitu: suami, isteri, anak beru (menantu) dan Puang (mertua).
Demikianlah, pembentukan lembaga di atas didasarkan pada akar budaya masyarakat
Serdang sendiri. Selanjutnya, lembaga inilah yang berperan dalam upacara perkawinan
maupun perhelatan besar.
Jabatan Pemerintahan Lainnya
Selain itu Sultan juga dibantu oleh Syahbandar (perdagangan)
dan Temenggong (Kepala polisi dan keamanan). Sultan Serdang menjalankan hukum
kepada rakyat berdasarkan Hukum Syariah Islam dan Hukum Adat seperti kata
pepatah, “Adat bersendikan Hukum Syara, Hukum Syara’ bersendikan Kitabullah”.
Penguasa/Sultan
Penguasa
- 1723-1782 Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Syah bin Tuanku Panglima Paderap (Kejeruan Junjungan), Raja Serdang
- 1782-1822 Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Syah ibni al-Marhum Tuanku Umar (Al-Marhum Kacapuri), Raja Serdang.
- 1822-1851 Sultan Thaf Sinar Basyar Syah ibni al-Marhum Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Shah (Al-Marhum Besar), Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
- 1851-1879 Sultan Basyaruddin Syaiful Alam Syah ibni al-Marhum Sultan Thaf Sinar Bashar Syah (Al-Marhum Kota Batu), Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
- 1879-1946 Sultan Sulaiman Syariful Alam Syah ibni al-Marhum Sultan Bashar un-din (Al-Marhum Perbaungan), Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
Kepala Rumah Tangga
1946-1960 Tuanku Rajih Anwar ibni al-Marhum Sultan Sulaiman
Sharif ul-'Alam Shah, Tengku Putra Mahkota, Kepala Rumah Tangga Istana Serdang
Sultan
- 1960-2001 Sri Sultan Tuanku Abu Nawar Sharifu'llah Alam Shah al-Haj ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana Serdang
- 2001-2011 Sri Sultan Tuanku Lukman Sinar Bashar Shah II ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana Serdang.
- 2011 Sri Sultan Tuanku Achmad Thalaa Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana Serdang.
Baca Juga : Sejarah Perkembangan Islam di Pulau Sumatera
Kehidupan
Sosial-Budaya
Sejarah mengenai kehidupan social budaya kerajaan serdang
sangat minim namun kita dapat melihat sedikit gambaran mengenai kehidupan
sosial budaya di Kerajaan Serdang pada periode pemerintahan Sultan Thaf Sinar
Basyar Syah.
Catatan utusan
Kerajaan Inggris
Menurut catatan utusan kerajaan Inggris, di masa
pemerintahannya, Serdang menjadi aman tenteram dan makmur karena perdagangan
yang ramai. Ketika utusan Kerajaan Inggris dari Penang, Johan Anderson,
mengunjungi Serdang tahun 1823, ia mencatat:
- Perdagangan antara Serdang dengan Pulau Pinang sangat ramai (terutama lada dan hasil hutan).
- Sultan Thaf Sinar Basyar Syah (juga bergelar Sultan Besar) memerintah dengan lemah lembut, suka memajukan ilmu pengetahuan dan mempunyai sendiri kapal dagang pribadi.
- Industri rakyat dimajukan dan banyak pedagang dari pantai barat Sumatera (orang Alas) yang melintasi pegunungan Bukit Barisan menjual dagangannya ke luar negeri melalui Serdang.
- Baginda sangat toleran dan suka bermusyawarah dengan negeri-negeri yang tunduk kepada Serdang, termasuk orang-orang Batak dari Pedalaman.
- Cukai di Serdang cukup moderat.
Pepatah Melayu
Semua hal di atas bisa terjadi karena Sultan berpegang teguh
pada pepatah adat Melayu. Di antara pepatah dan adat tersebut adalah:
- Secukap menjadi segantang, yang keras dibuat ladang, yang becek dilepaskan itik, air yang dalam diperlihara ikan
- genggam bara, biar sampai menjadi arang (sabar menderita mencapai kejayaan)
- cencaru makan petang, bagai lebah menghimpun madu (meskipun lambat tetapi kerja keras maka pembangunan terlaksana)
- hati Gajah sama dilapah, hati kuman sama dicecah (melaksanakan kerja pembangunan dengan berhasil baik bersama-sama)
Dalam perkembangannya, karena Sultan Thaf Sinar Basyar Syah
ini amat berpegang teguh pada adat Melayu disertai sikap lemah lembut dan
sopan, akhirnya banyak rakyat Batak di pedalaman yang masuk Melayu (Islam).
Atas dasar jasa-jasanya, maka, ketika Sultan Thaf Sinar Basarshah mangkat pada
tahun 1850, para Orang Besar dan rakyat Serdang memberikan penghormatan
untuknya dengan gelar Marhom Besar.
Penjajahan Belanda
dan Bergabung dengan Indonesia
Pada tahun 1865, Kesultanan Serdang ditaklukkan oleh
Belanda. Selanjutnya, pada tahun 1907, Serdang menandatangani perjanjian dengan
Belanda yang melarang Serdang berhubungan dengan negeri luar. Setelah
bertahun-tahun dalam pengaruh Belanda, akhirnya, pada tahun 1946, pada masa
pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamshah, Serdang bergabung dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber referensi :
Kesultanan Serdang dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Serdang diakses tanggal 24 Mei 2014
0 Response to "Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Serdang Sumatera Utara"
Post a Comment
Tinggalkan Komentar Anda