Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Timur
Islam pertama
kali memasuki Jawa Timur pada abad ke-11. Bukti awal masuknya
Islam ke Jawa Timur adalah adanya makam Islam atas nama Fatimah binti Maimun di Gresik
bertahun 1082,
serta sejumlah makam Islam pada kompleks makam Majapahit. Penyebaran Islam
di Jawa
Timur tak lepas dari peran Walisongo.
Lima wali di antara sembilan wali yang menyebarkan Islam di
pulau Jawa berada
di wilayah Jawa Timur. Lima wali tersebut adalah Sunan Ampel di Surabaya, SunanGresik di Gresik, Sunan Giri di Gresik, Sunan Drajat di Lamongan, dan Sunan Bonang di Tuban.
Penyebaran agama Islam di Jawa Timur, erat kaitannya
dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat Jawa Timur yang menjadi bagian dari
kehidupan sosial ekonomi masyarakat internasional yang terlihat dari hubungan
antara proses penyebaran agama Islam dengan sistem perdagangan yang
menggunakan jalur laut, dan penyebaran agama Islam ke seluruh pelosok
Nusantara dapat berlangsung dengan menggunakan wahana perdagangan internasional
dengan jalur perdagangan laut.Sebagai pembawa dan penyebar Agama Islam ke Jawa
Timur adalah para pedagang Muslim yang menyebarkan agama Islam sembari
melakukan perdagangan.
Di wilayah Jawa Timur, bersamaan dengan melemahnya kekuatan
Majapahit, seorang alim ulama dari Pasai bergelar Maulana Malik Ibrahim
bergerak menyeberang ke wilayah Jawa. Sesampainya di wilayah tersebut, Maulana
Malik Ibrahim mendirikan tempat berdagang untuk masyarakat sekitar. Dengan
memberikan harga murah maka berkumpulkan para masyarakat melakukan transaksi
perdagangan dengannya. Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah
berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok
dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan
diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Syekh Maulana Malik Ibrahim
(Sunan Gresik) berdakwah di Gresik, beliau tidak hanya membimbing umat untuk
mengenal dan mendalami agama Islam, tapi juga memberikan pengarahan agar
kehidupan rakyat Gresik semakin meningkat. Beliau memiliki gagasan mengalirkan
air dari gunung untuk mengairi sawah dan ladang.
Islam telah tersebar di pulau Jawa, paling tidak sejak Malik
Ibrahim dan Maulana Ishak yang bergelar Syaikh Awal Al-Islam diutus sebagai
juru dakwah oleh Raja Samudera, Sultan Zainal Abidin Bahiyah Syah (1349-1406)
ke Gresik. Komunitas muslim pertama diberitakan oleh Man Huan yang
mengatakan bahwa antara tahun 1415-1432 di Jawa bagian Timur terdapat tiga
kelompok komunitas. Pertama adalah penduduk Muslim yang berasal dari Barat,
kedua komunitas Cina yang beberapa di antaranya telah memeluk Islam, dan ketiga
penduduk pribumi sedikit tetapi setidaknya telah ada indikasi adanya pemukiman
Islam.
Nisan kubur makam Malik Ibrahim juga berangka tahun 1419.
Walaupun dipercaya sebagai penyebar Islam tetapi tidak ada sumber pasti yang
mengatakan demikian, sangat mungkin dia adalah pedagang Muslim yang berasal
dari Gujarat, India yang meninggal dalam perjalanan dagang Makam sejaman yang
lain adalah makam Putri Tjempa (Putri Campa), salah satu istri Prabu Brawijaya,
raja Majapahit terakhir yang mendukung pemakaman istrinya dengan cara Islam.
Nisan kuburnya terdapat inskripsi angka tahun 1370 Caka (1448). Putri Cahaya
adalah bibi dari Raden Rahmat dari Ampel Denta yang diangkat oleh raja sebagai
imam bagi komunitas Islam masa pemerintahan Majapahit. Raden Rahmat menyebarkan
Islam sepanjang Jawa dengan cara-cara damai dan alamiah (pacific penetration)
dan cara ini sangat berhasil dijalankan oleh para pengikutnya. Muridnya yang
bernama Raden Paku mendirikan masjid dan mengislamkan penduduk disekitar Giri.
Raden Rahmat juga mengutus Syeikh Khalifah Husein ke Madura. Beberapa bupati
sepanjang pantai utara Jawa beralih paham dewa raja Majapahit menjadi Muslim.
Mulai saat itulah terjadi fase perubahan yang sangat besar
di Jawa yang dikenal dengan fase Persebaran Islam. Seringkali mereka (para
wali) menyamar untuk memutus lingkaran penganut lama. Mereka sangat aktif dan
berpindah-pindah dengan cara akulturasi budaya yang sangat luwes. Seringkali
mereka memegang peranan yang sangat penting baik sebagai bagian dari
pemerintahan maupun sebagai pemegang otoritas sendiri. Sistem ini akhirnya
memunculkan wacana yang disebut sebagai desa perdikan dan pesantren.
Islam pertama
kali memasuki Jawa Timur pada abad ke-11. Bukti awal masuknya
Islam ke Jawa Timur adalah adanya makam Islam atas nama Fatimah binti Maimun di Gresik
bertahun 1082,
serta sejumlah makam Islam pada kompleks makam Majapahit. Melihat
makam-makam muslim yang ada di Gresik yaitu makam wanita muslim Fathimah binti
Maimun, nisan yang berangka tahun 475 H (1082 M), serta makam ulama Persia
Malik Ibrahim, nisan yang berangka tahun 882 H (1419 M) menjadi tanda bukti
bahwa waktu itu rakyat jelata Gresik banyak menganut agama Islam. Jadi pada
waktu zaman Prabu Kertawijaya (1447 M) para bangsawan dan punggawa telah ada
yang menganut agama Islam. Ini dikarenakan berita tentang kejayaan Islam di
wilayah Timur, di Persia, Afghanistan, Baluctistan (sekarang Pakistan) di
India sungai Gangga sampai Benggala. Di tanah Aceh dan Malaka dapat tersebar
dengan cepat di kota pelabuhan Jawa. Keadaan yang demikian merupakan sumbangan
morak dan kebanggaan dalam hati rakyat Majapahit yang sedang rapuh karena gila
jabatan. Apalagi Islam progresif terhadap agama Hindu saat itu.
Kehidupan Islam di Jawa
Timur Pada Abad ke-15 dan 16
Penyebaran Agama Islam merupakan suatu proses yang sangat
penting dalam sejarah Indonesia , sebagai suatu periode sejarah peradaban
masyarakat Indonesia yang ditandai dengan bergesernya peradaban yang bercorak
Hindu-Budha menjadi sebuah peradaban yang bercorak Islam.
Schriek berpendapat bahwa konversi di Jawa terjadi lewat “strategi
struktural”, yakni melalui jaring-jaring kekuasaan interlokal yaitu dengan
penaklukan demi penaklukan terhadap kekuasaan-kekuasaan non-Muslim sehingga
para penguasa lokal yang tidak menerima Agama Islam akan mau menerima Agama
Islam, sehingga secara otomatis masyarakat di bawahnya akan bergeser menjadi
masyarakat Muslim yang menganut Agama Islam.
Penyebaran Islam di Jawa Timur, juga dilakukan oleh para
sufi dan pengamal tarekat yang menyajikan Islam dalam kemasan yang atraktif,
menekankan aspek-aspek keluwesan (fleksibilitas) ajaran Agama Islam serta
kompabilitas Islam berupa ajaran Tasawuf dengan mistisisme setempat dan
didukung pula dengan otoritas kharismatik dan kekuatan magis yang dimiliki para
sufi sehingga masyarakat Jawa mau menerima ajaran Agama Islam. Di lain pihak,
hasrat para raja dan bupati untuk berhubungan dengan pedagang muslim juga
didorong oleh situasi politik dan keamanan, khususnya di sekitar pusat-pusat
pemerintahan.
Mas’ud mengatakan bahwa perubahan dalam bentuk konversi
Hindu-Budha ke Islam justru terjadi pertama di antara masyarakat nelayan dan
bukan kerajaan di pedalaman karena pandangan masyarakat pesisir lebih egalitarian
dan keterbukaan dan mobilisasi adalah ciri lain masyarakat pesisir yang lebih
kondusif terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar maupun dalam.
Keberhasilan para penyebar Agama Islam di Jawa Timur pada abad XV–XVI juga
ditunjukkan dengan keberhasilan para penyiar Islam menguasai jaring-jaring
perdagangan laut seperti pada pelabuhan Gresik di mana Ibrahim Asmarakandi dan
Maulana Mashfur yang datang ke Jawa melalui pelabuhan Gresik pada tahun 1371 M,
diangkat sebagai syah-bandar yang menguasai kota pelabuhan di Gegisik (Gresik)
yang dilanjutkan oleh Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1378 M. Dengan
penguasaan ini mendorong tumbuhnya komunitas-komunitas Muslim dan penyebaran
Islam serta tumbuhnya kota pelabuhan Gresik sebagai pusat Islam di Jawa Timur.
Untuk mendukung masyarakat Muslim, di pusat-pusat Islam
didirikan masjid sebagai pusat kendali dan menjadi pusat pemerintahan sosial
politik dan ekonomi Islam seperti yang dipelopori Walisongo dengan pendirian
masjid pertama di Jawa yaitu Masjid Demak pada tahun 1428, sebagai pusat agama
terpenting di Jawa dan memainkan peran besar dalam upaya menuntaskan Islamisasi
di seluruh Jawa termasuk daerah-daerah pedalaman. Adapun untuk daerah pedalaman
Jawa Timur, Ricklefs menyimpulkan bahwa dengan ditemukannya
makam-makam Islam di Troloyo yang letaknya dekat atau mungkin berada di
Kutaraja Majapahit, terdapat kemungkinan Islam telah masuk sampai ke pedalaman
bahkan mungkin para keluarga kerajaan atau bangsawan Majapahit pada waktu itu
telah menganut Agama Islam.
Dalam penyebaran Islam di Jawa dikenal tokoh-tokoh penyebar
Agama Islam dengan sebutan Wali atau Walisongo. Istilah Wali berasal dari
bahasa Arab aulia, yang artinya orang yang dekat dengan Allah SWT karena
ketakwaannya. Walisongo adalah sebutan terhadap sejumlah wali di Jawa yang
dianggap sebagai penyebar atau penyiar (mubaligh-mubaligh)Islam yang pertama,
jadi yang pertama-tama menyiarkan Islam, di mata masyarakat Jawa, para Wali
dianggap bersumber pada kehidupan para resi pada Zaman Hindu Jawa sehingga para
Wali menik mati penghormatan seperti para resi dalam masyarakat Islam Jawa.
Saksono mengatakan bahwa dalam tradisi Jawa, perkataan
wali adalah sebutan bagi orang yang dianggap keramat. Sebagai orang terpandang
di daerahnya, seorang Wali selalu disebut sunan, yang merupakan kependekan
dari susuhunan, artinya orang yang dimuliakan. Walisongo baru muncul pada
tahun 1404 melalui pertemuan para penyebar Agama Islam pertama yang berjumlah
sembilan orang. Lahirnya Walisongo tersebut, bukan berarti bahwa Islam baru ada
pada saat Walisongo tersebut terbentuk. Ditemukannya makam Fatimah Binti Maimun
di Desa Leran yang batu nisannya yang didatangkan dari Gujarat dan berangka
tahun 475 H atau 1082 M, menunjukkan bahwa di tempat itu sudah ada upaya
penyebaran Islam yang dilakukan oleh orang bukan dari kalangan rakyat biasa,
jauh sebelum munculnya Walisongo walaupun sejarah tidak pernah menjelaskan,
siapa sebenarnya tokoh wanita yang makamnya menjadi terkenal itu. Menurut
Wahyudi (tt:37), orang yang ditunjuk sebagai Ketua Walisongo pertama kali
adalah Maulana Malik Ibrahim. Setelah Maulana Malik Ibrahim wafat pada tahun
1419, dan pada tahun 1421 diadakan pertemuan atau sidang Walisongo dan Raden
Rahmat ditunjuk sebagai ketua Dewan Walisongo tersebut. Dengan meninggalnya
beberapa anggota Walisongo sekaligus untuk konsolidasi serta regenerasi
penyebar Agama Islam, maka berturut-turut diadakan sidang Walisongo pada tahun
1435 dan tahun 1462. Pada tahun 1466 diselenggarakan lagi sidang Walisongo
dipilih Sunan Giri sebagai ketuanya.
Dengan mulai menetapnya para penyebar Islam di beberapa
tempat dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bersifat tetap
yaitu pesantren, maka pesantren itu menjadi pusat Islam. Mas’ud berpendapat
bahwa pesantren merupakan pusat kekuatan Islam yang mengendalikan roda
kehidupan politik, sosial dan budaya masyarakat Jawa yang tumbuh menjadi pusat
pemerintahan yang dikendalikan oleh para Wali. Walaupun pada awalnya pada pusat
Islam tersebut berlaku hubungan antara Kyai dan santri, namun pada
perkembangannya, pusat-pusat Islam ini berkembang pola pemerintahan politik.
Perkembangan kota-kota di Jawa jelas merupakan hasil kerja
para Walisongo dalam menyebarkan Agama Islam, terutama di daerah-daerah pesisir
pantai utara Jawa walaupun setelah kerajaan Demak Bintara runtuh dan pusat
pemerintahan berpindah ke Pajang lalu Mataram, dan peranan organisasi Walisongo
tidak lagi menjadi penting. Simon mengatakan bahwa pada waktu Walisongo
dipimpin oleh Sunan Giri, arah perjuangan Islam sudah mulai berbelok dengan
masuknya wali keturunan bangsawan Jawa yang dididik dalam lingkungan tradisi
Hindu, Budha dan Animisme, yang mengarah kompromi antara ajaran Islam dengan
nilai-nilai Jawa Non Islam. Kemudian wibawa Walisongo sedikit demi sedikit memudar
setelah pusat kerajaan pindah dari Demak ke pedalaman.
Kesusteraan Jawa abad ke-17 dan 18 mengenal banyak cerita
tradisional mengenai para wali yaitu orang-orang saleh yang diduga telah
menyebarkan agama Islam di Jawa. Dikisahkan kehidupan, mukjizat, dan keyakinan
mereka di bidang misik dan teologi. Wali ini biasanya disebut “Wali Sembilan’.
Wali di Jawa berpusat di masjid keramat di Demak yang didirikan bersama. Disitulah
mereka adakan pertemuan untuk bertukar pikiran tentang mistik. Mereka memegang
peranan penting dalam sejarah politik Jawa ada abad ke-16 dan 17. Dalam
perkembangannya Wali Sembilan ini di bagi dua aliran :
1. Aliran Tuban
dipimpin oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan
Gunung Jati. Para ulama ini ahli dalam bidang kenegaraan. Pengembangan gerakan
Islam hendak dilebur dijadikan gerakan rakyat yang berjuang bersama Empu Supa
yang mencita-citakan negara nasional Nusantara. Penerapan agama Islam
diselaraskan adat, tata cara serta kepercayaaan penduduk asli. Karena tidak
begitu keras dalam menerapkan peribadatan kelompok ini sering disebut kelompok
abangan.
2. Aliran Giri dipimpin oleh Sunan Giri, Sunan Ampel
dan Sunan Derajat. Ketiga ulama ini golongan ortodok. Kelompok keras dalam
penerapan peribadatan, maka disebut kelompok mutihan.
Kehidupan Ekonomi
pada Masa Penyebaran Islam di Jawa Timur
Penyebaran agama Islam di Jawa Timur, erat kaitannya
dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat Jawa Timur yang menjadi bagian dari
kehidupan sosial ekonomi masyarakat internasional yang terlihat dari hubungan
antara proses penyebaran Agama Islam dengan sistem perdagangan yang menggunakan
jalur laut, dan penyebaran agama Islam ke seluruh pelosok Nusantara dapat
berlangsung dengan menggunakan wahana perdagangan internasional dengan jalur
perdagangan laut.
Sebagai pembawa dan penyebar Agama Islam ke Jawa Timur
adalah para pedagang Muslim yang menyebarkan agama Islam sembari melakukan
perdagangan. Van Leur mengatakan bahwa motif ekonomi dan politik memegang peran
sangat penting dalam proses masuk Islamnya penduduk Nusantara, sehingga para
penguasa pribumi yang ingin meningkatkan kegiatan perdagangan di wilayahnya
membuat mereka mau menerima Islam agar mendapatkan dukungan dari para pedagang
Muslim yang menguasai sumber-sumber ekonomi.
Di wilayah Jawa Timur, bersamaan dengan melemahnya kekuatan
Majapahit, seorang alim ulama dari Pasai bergelar Maulana Malik Ibrahim
bergerak menyeberang ke wilayah Jawa. Sesampainya di wilayah tersebut, Maulana
Malik Ibrahim mendirikan tempat berdagang untuk masyarakat sekitar. Dengan
memberikan harga murah maka berkumpulkan para masyarakat melakukan transaksi
perdagangan dengannya.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang
Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri
raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan
Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup
menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim
hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai
beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah
yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang,
adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah
berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok
dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan
diri untuk mengobati masyarakat secara gratis.
Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) berdakwah di
Gresik, beliau tidak hanya membimbing umat untuk mengenal dan mendalami agama
Islam, tapi juga memberikan pengarahan agar kehidupan rakyat Gresik semakin
meningkat. Beliau memiliki gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi
sawah dan ladang.
Kerajaan
Islam di Jawa Timur
Kerajaan
Majapahit
Di Jawa , Islam mendapatkan suatu sistem politik dan
struktur kekuasaan yang telah lama mapan, berpusat di keraton pusat
Majapahit. Majapahit adalah sebuah kerajaan yang
berpusat di Jawa Timur, Indonesia,
yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini
mencapai puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan raya
yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara pada
masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389.
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir
yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar
dalam sejarah Indonesia. Kekuasaannya terbentang
di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan,
hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.
Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran
kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu
tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan
dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi
masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora,
dan Nambi memberontak
melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Slamet Muljana
menduga bahwa mahapatih Halayudhalah yang
melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia
dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian
pemberontak terakhir (Kuti),
Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati. Wijaya meninggal
dunia pada tahun 1309.
Putra dan penerus Wijaya adalah Jayanegara. Pararaton menyebutnya Kala
Gemet, yang berarti "penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu
dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta Italia, Odorico da Pordenone mengunjungi keraton
Majapahit di Jawa.
Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu
Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih
mengundurkan diri dari istana dan menjadi bhiksuni.
Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewiuntuk
menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai
Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah
Palapa yang menunjukkan rencananya untuk melebarkan kekuasaan
Majapahit dan membangun sebuah kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana,
kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di kepulauan
Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350.
Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit
dari tahun 1350 hingga1389. Pada masanya
Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada.
Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak
wilayah.
Kemungkinan karena didorong alasan politik, Hayam Wuruk
berhasrat mempersunting Citraresmi (Pitaloka), putri Kerajaan
Sunda sebagai permaisurinya. Pihak Sunda menganggap lamaran ini sebagai
perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja Sunda beserta keluarga dan
pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri untuk dinikahkan
dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada melihat
hal ini sebagai peluang untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit.
Pertarungan antara keluarga kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit di lapangan
Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani memberikan perlawanan,
keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir seluruh
rombongan keluarga kerajaan Sunda dapat dibinasakan secara kejam. Tradisi
menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan hati remuk redam melakukan
"bela pati", bunuh diri untuk membela kehormatan
negaranya. Kisah Pasunda Bubat menjadi tema utama dalam naskah Kidung
Sunda yang disusun pada zaman kemudian di Bali. Kisah ini disinggung
dalam Pararaton tetapi
sama sekali tidak disebutkan dalam Nagarakretagama.
Kakawin Nagarakretagama yang disusun
pada tahun 1365 menyebutkan budaya keraton yang
adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan
tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Sang pujangga menggambarkan
Majapahit sebagai pusat mandala raksasa yang
membentang dari Sumatera ke Papua, mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi
lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda mengenai
kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan Majapahit
hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah
itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan
pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka. Akan tetapi segala pemberontakan
atau tantangan bagi ketuanan Majapahit atas daerah itu dapat mengundang reaksi
keras.
Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada,
Majapahit melancarkan serangan laut untuk menumpas pemberontakan di Palembang.
Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada
berbagai pulau dan kadang-kadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama
Majapahit nampaknya adalah mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan
perdagangan di kepulauan Nusantara. Pada saat inilah pedagang muslim dan
penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan ini.
Dalam hal ekonomi, ada di antara negara-negara yang kena
pengaruh India, yang lebih tua dari Mataram, yang memperoleh sebagian besar
dari harta kekayaan mereka dari perdagangan. Ini benar dalam hal Majapahit di
Jawa Timur pada abad XIII sampai XV.
Peran Walisongo dalam
Penyebaran dan Perkembangan Islam di Jawa Timur
1. Syekh
Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) di Gresik
info : Info Lebih Lanjut Sejarah Sunan Gresik Klik Disini
info : Info Lebih Lanjut Sejarah Sunan Gresik Klik Disini
Syekh Maulana Malik Ibrahim berasal dari Turki, beliau
diperkirakan lahir di samarkan, Asia Tengah pada paruh awal abad ke 14. Dia
adalah seorang ahli tata negara yang ulung. Syekh Maulana Malik Ibrahim datang
ke Pulau Jawa pada tahun 1404 M. Jauh sebelum beliau datang Islam sudah ada
walaupun sedikit ini dibuktikan dengan makam Fathimah binti Maimun yang
nisannya bertuliskan tahun 1082 M.
Tanah Jawa yang pertama kali disinggahi oleh Maulana Malik
Ibrahim adalah desa Sembalo (sekarang adalah daerah Leran, kecamatan Manyar,
sekitar 9 km dari uatara kota Gresik). Adapun aktivitas pertama Maulana Malik
Ibrahim di tanah ini bukanlah berdakwah, melainkan menyediakan diri mengobati
masyarakat secara gratis. Usai mendapatkan hati masyarakat, barulah Maulana
Malik Ibrahim memulai misi dakwahnya dengan membangun sebuah pondok pesantren
di Leran.
Agama dan istiadat tidak langsung ditentangnya dengan formal
dan penuh kekerasan oleh agama Islam. Beliau langsung memperkenalkan kemuliaan
akhlak yang diajarkan oleh agama Islam. Beliau langsung memberi contoh sendiri
dalam bermasyarakat , tutur bahasanya sopan, lemah lembut, santun kepada fakir
miskin, hormat pada orang tua dan menyayangi kaum muda. Dengan cara itu
ternyata sedikit demi sedikit banyak juga orang Jawa yang mulai tertarik pada
agama Islam dan pada akhirnya mereka menganut agama Islam.
Pada waktu ini, kerajaan terbesar di pulau Jawa adalah
Majapahit dalam keadaan keropos setelah ditinggal Patih Gajah Mada dan Raja
Hayam Wuruk. Kerajaan yang sudah pernah ditaklukkan sudah mulai memisahkan diri
dan tidak memberi upeti lagi.
Di kalangan jelata Sunan Gresik atau sering dipanggil Kakek
Bantal sangat terkenal terutama kasta rendah yang selalu ditindas oleh kasta
yang lebih tinggi. Maka ketika Sunan Gresik menerangkan kedudukan dalam Islam,
orang kasta Sudra dan Wisa tertarik. Sunan Gresik menjelaskan bahwa dalam Islam
kedudukan semua orang adalah sama sederajat hanya orang yang beriman dan
bertakwa tinggi kedudukannya disisi Allah. Dan untuk mempersiapkan kader umat
yang nantinya dapat menyebarkan Islam, dia mendirikan pesantren yang merupakan
perguruan Islam, tempat mendidik dan menggembleng para santri sebagai calon
mubaligh.
Maulana Malik Ibrahim juga mendirikan tempat pondokan agama
untuk menyebarkan Islam. Beserta putranya Sunan Ampel, Maulana Malik Ibrahim
menyebarkan agama di daerah Gresik (karena itu Maulana Malik Ibrahim digelari
Sunan Gresik). Lalu putranya, Raden Rahmat yang bergelar Sunan Ampel mendirikan
padepokan di Ampel Dentha.
Dua putranya Sunan Drajat dan Sunan Bonang juga belajar di
pesantren Ampel Aenta. Sunan Bonang dilahirkan pada 1465 M di daerah Tuban. Tak
hanya sebagai tempat kelahirannya, Tuban juga kemudian menjadi pusat penyebaran
agama Islam oleh Sunan Bonang. Sunan Ampel memiliki sepupu bernama Joko Samudro
atau Raden Paku yang juga menjadi muridnya dan bergelar Sunan Giri.
Sunan Giri nantinya akan mendirikan pesantren Giri yang
justru memerlukan banyak murid-murid yang nantinya akan menyebarkan Islam di
berbagai belahan Indonesia tengah.
Syekh Maulana Malik Ibrahim seorang ayah dari Walisongo.
Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H atau 1419 M.
Raden Rahmat Ali Rahmatullah adalah raja Cempa, ayahnya
bernana Ibrahim Asmaira Kandi yang kawin dengan Puteri Raja Cempa yang bernama
Dewi Candra Wulan.
Raden Rahmat ke tanah Jawa langsung ke Majapahit karena
bibinya Dewi Dwar Wati diperisteri Raja Brawijaya, dan isteri yang paling
disukainya. Raden Rahmat berhenti di Tuban, ditempat beliau berkenalan dengan
dua tokoh masyarakat yaitu Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning, yang kemudian
bersama kedua orang bersama keluarganya masuk Islam. Dengan adanya dua orang
ini Raden Rahmat semakin mudah mengadakan pendekatan dengan masyarakat
sekitarnya. Beliau tidaka langsung melarang mereka yang masih menganut adat
itiadat lama, tapi sedikit demi sedikit, tentang ajaran ketauhidan. Beliau
menetap di Ampel Denta dan kemudian disebut Sunan Ampel.selanjutnya beliau
mendirikan pesantren tempat putera bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa
saja yang mau berguru kepadanya. Dan beliau wafat pada tahun 1478 M. Dimakamkan
di sebelah mesjid Ampel.
3. Syekh
Maulana Ishak (Sunan Giri) di Gresik
info : Info Lebih Lanjut Sejarah Sunan Giri Klik Disini
info : Info Lebih Lanjut Sejarah Sunan Giri Klik Disini
Di awal abad ke 14 kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu
Menak Semboyo, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan
Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agama Hindu dan sebagian yang memeluk agama
Budha.
Pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda wabah
penyakit, banyak yang meninggal. Banyak korban berjatuhan dan pteri Prabu juga
terserang penyakit beberapa bulan. Banyak tabib dan dudun mengobati tapi sang
puteri belum sembuh juga. Lalu prabu Menak mengutus Patih Bajul Senggoro ke
gunung Gresik. Patih Bajul Senggoro dapat bertemu dengan Syekh Maulana Ishak
yang sedang bertafakkur di sebuah goa. Setelah terjadi negosiasi bahwa raja dan
rakyat mau diajak masuk Islam maka Syekh Maulana Ishak bersedia datang ke
Blambangan. Memang beliau pandai dalam engobatan, Puteri Dewi Sekardadu sembuh
setelah diobati dari wabah penyakit lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai
janji Sunan Giri dikawinkan denagn Puteri Dewi Sekardadu dan diberi kekuasaan
sebagai adipati Blambangan. Setelah banyak sekali beliau pindah ke Singapura
dan wafat disana.
4. Raden Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang) di Tuban
info : Info Lebih Lanjut Sejarah Sunan Bonang Klik Disini
info : Info Lebih Lanjut Sejarah Sunan Bonang Klik Disini
Sekembali dari Persia untuk berguru kepada Syekh Maulana
Ishak ke tanah Jawa, beliau berdakwah di daerah Tuban. Cara berdakwahnya cukup
unik dan bijaksana,beliau ahli dalam menciptakan gending dan tembang yang
disukai rakyat. Dan beliau ahli dalam membunyikan gending yang disebut bonang,
sehingga rakyat Tuban dapat diambil hatinya untuk masuk mesjid.
Beliau membunyikan bonang rakyat yang mendengar seperti
terhipnotis teru melangkah ke mesjid karena ingin mendengar langsung dari
dekat. Dengan cara ini sedikit demi sedikit dapat merebut simpati rakyat, lalu
menanamkan pengertian sebenarnya tentang Islam.
Beliau adalah putera Sunan Ampel dari Dewi Candra Wati.
Beliau berdakwah di daerah Drajad sehingga dikenal Sunan Drajad. Cara menyebarkan
agama Islam dilakukan dengan cara menabuh seperangkat gamelan, gending dan
tembang mocopat, setelah itu baru diberi ceramah Islam. Dan beliau mendirikan
pesantren untuk menyiarkan Islam.
Beliau wafat pada tahun 1462 M dan dimakamkan didesa Drajad
kecamatan Paciran kabupaten Lamongan.
Sumber :
http://sejarahperadabanislamdijawatimur.blogspot.com/2012/05/perkembangan-peradaban-islam-di-jawa.htmlsumber foto :
www.google.com
0 Response to "Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Timur"
Post a Comment
Tinggalkan Komentar Anda