Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat
Pada abad ke-13 dan abad ke-14M, kegiatan perdagangan pada
jalur pelayaran tersebut cukup ramai. Para pedagang muslim mengunjungi
pelabuhan yang terdapat di pesisir utara pulau jawa antara lain banten, kalapa,
indramayu (cimanuk), Cirebon, tuban, gresik, dan jepara. Pada abad ke-14
tidaklah berarti islam baru masuk, melainkan telah meluas di Jawa Barat. Proses
perluasan ini diawali dengan masuknya sejak abad ke-7.2
Sebagian daerah galuh berada pada lintasan pelayaran niaga.
Ditinjau dari letak geografisnya itu, daerah Cirebon adalah daerah yang lebih
dahulu mendapat sentuhan agama islam daripada daerah yang ada di Jawa Tengah
dan Jawa Timur.
Pada perempat pertama abad ke-15 M, Pelabuhan Muhara Jati
dan pasar Pasambangan sering disinggahi oleh para pedagang dari berbagai negeri
atau daerah seperti Parsi, Arab, India, Pasai, dan lain-lain. Sebagian besar
dari mereka adalah saudagar muslim. Sebagai muslim, para saudagar itu akan
berusaha memperkenalkan agama Islam kepada orang-orang di daerah setempat yang
belum masuk islam.
Pada mulanya Islam disebarkan di Pantai Utara Jawa melalui
kontak dagang, kemudian di sana disebarkan ke pedalaman. Dengan kontak itu pula
keuntungan ekonomi mengalir dari perniagaan yang dikuasai orang-orang
islam. Memang keuntungan besar dari perdagangan sangat tergantung dengan adanya
kontak dagang dengan luar negeri yang pada waktu itu terletak pada jaringan
perdagangan dengan orang-orang islam.
Masuk dan berkembangnya islam di daerah galuh semakin kuat,
setelah Syarif Hidayat datang di Cirebon dan menjadi penyebar agama Islam.
Kedatangan Syarif Hidayat ini menyebabkan agam Islam tidak hanya menyebar di
daerah Cirebon, tetapi masuk ke pedalaman Galuh dan jawa barat.
Pertimbangan lain dari keterangan Tome Pires yang
menjelaskan keadaan Jawa barat pada abad ke-16. Bahwa pada 1513 penduduk
Cirebon dan cimanuk (Indramayu) sudah beragama Islam.
Penyebaran agama Islam pada tahap awal dilakukan pula oleh
dua orang guru agama islam yang datang di daerah Jawa Barat. Naskah Carita
Purwaka Caruban Nagari menyebutkan adanya dua orang guru agama islam
yaitu Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Amparan
Jati (daerah Gunung Jati sekarang). Menurut naskah tersebut, Syekh Quro adalah
Syekh Hasanuddin, putera Syekh Yusuf Sidiq seorang ulama terkenal dari negeri
Campa. Seorang murid Syekh Quro adalah Nyai Subanglarang, puteri Ki
Jumamjanjati (Ki Gede Tapa), penguasa pelabuhan Muhara Jati pengganti Ki Gedeng
Sindangkasih. Atas kebaikan Ki Jumajanjati, Syekh Hasanuddin mendirikian pondok
pesantren di Karawang. Dalam naskah itu, Syekh Nurjati disebut pula Syekh Datuk
Kahpi atau Syekh Idhopi. Salah seorang muridnya ialah Walangsungsang, putera
Nyai Subanglarang dari Raja Sunda, Prabu Siliwangi. Walangsungsang inilah yang
menjadi perintis pembangunan kota Cirebon pada sekitar 1455M.
Syekh Quro dan Syekh Nurjati membangun pesantren di daerah
pemukimannya masing-masing. Dengan kata lain berdirinya pesantren berarti
terjadinya pembentukan kader penyebar agama islam. Santri-santri yang telah
memahami ajaran islam kemudian menyebaran ajaran itu di lingkungan tempat
tinggal masing-masing atau kedaerah lain atas perintah gurunya.
Carita Puraka Caruban Nagari juga menyebutkan tentang
kegiatan perniagaan di pantai Cirebon sebelum tahun 1470M. Naskah itu menceritakan,
bahwa sebelum tempat yang sekarang menjadi Cirebon dihuni orang, tidak jauh di
sebelah utara tempat itu terdapat kehidupan masyarakat. Masyarakat inilah cikal
bakal penduduk Cirebon. Di sana terdapat empat kegiatan perdagangan yaitu
Pelabuhan Muhara Jati dan pasar Pasembangan. Di sebelah utaranya terdapat
daerah yang bernama Singapura, dan disebelah Timur adalah Jayapura. Di sebelah
selatan bagian pedalaman terletak Caruban Girang. Kiranya masyarakat di
tempat-tempat itulah yang diislamkan oleh Haji Purwa dan Syekh Nurjati bersama
santrinya.
Penyebaran agama islam di Cirebon, khususnya di Cirebon
Pantai (Caruban Hilir), berkaitan erat dengan peranan pelabuhan Muhara Jati
dengan Pasar Pasembangan. Kedatangan saudagar-saudagar muslim di pelabuhan
Muhara Jati dan Pasar Pasembangan, memungkinkan penduduk setempat berkenalan
dengan agama Islam, lebih-lebih bila para saudagar muslim itu singgah untuk
waktu cukup lama, menunggu saat yang baik untuk melanjutkan pelayarannya. Dalam
kesempatan itu, para saudagar muslim memperkenalkan agama mereka kepada
penduduk yang belum menganut agama islam.Dengan demikian dapatlah dikatakan
bahwa, bahwa masuk dan menyebarnya agama islam di daerah Cirebon terjadi pula
melalui kontak niaga.
Salah satu bukti yang menunjukkan ramainya kegiatan
pelayaran di daerah pelabuhan Muhara Jati ialah didirikannya mercusuar di bukit
Amparan Jati, suatu tempat tertinggi di dekat pelabuhan itu. Mercusuar ini
dibangun pada tahun 1415M oleh panglima Cina Wai Ping, dan Laksamana Te Ho
beserta pengikut mereka. Pendiri mercusuar itu adalah rombongan untusan Cina
dari dinasti Ming pimpinan Laksamana Cheng Ho yang sedang mengadakan muhibah ke
negara-negara Asia Tenggara. Orang-orang Cina yang datang ke negara-negara Asia
Tenggara pada abad ke-15 dan abad ke-16M banyak yang sudah menganut agama
islam, Orang-orang Cina Islam yang turut dalam rombongan Laksamana Cheng Ho
antara lain Ma Huan dan Feh Tsin.
Selama pembangunan mercusuar di bukit Amparan Jati mungkin
terjadi kontak antara orang-orang Cina dengan penduduk di daerah setempat,
termasuk kontak dalam masalah agama islam. Terjadinya kontak antara penduduk
Cirebon dengan orang-orang islam di berbagai negara, menyebabkan dalam perkembangannya
masyarakat islam Cirebon menyerap unsur-unsur budaya bangsa lain, baik yang
bercorak islam maupun budaya asing. Dengan kata lain, sifat heterogen
masyarakat Cirebon bukan hanya hal suku bangsa, tetapi juga dalam hal budaya
termasuk budaya Islam. Pada tahap selanjutnya, penyebaran dan pembentukan
kekuatan islam di daerah Cirebon semakin meningkat. Faktor utama yang
menyebabkannya adalah munculnya penguasa di daerah itu, yang sekaligus berperan
dalam penyebaran agama Islam.
Kahane menyatakan bahwa Islam menyebar secara bertahap
melalui guru-guru agama dan institusi sehingga menjadi agama mayoritas di Jawa.
Difusi atau konversi Islam di Indonesia dapat berjalan dengan lancar karena
sejumlah factor. Pertama, Islam datang di Jawa lebih dahulu dibanding Kristen
dan para pedagang muslim menancapkan kekuasaan ekonomi dan politiknya di sana.
Kedua, Islam dianggap sebagai agama yang mudah untuk dilaksanakan. Ketiga,
Terdapat kemiripan ajaran Islam dengan agama tradisional Jawa sufi dan magis
yang ada di Islam pada saat itu sama dengan kepercayaan animis dan Hindu.
Keempat, ada kemungkinan hidup bersama (koeksistensi) antara agama Jawa dan
Islam. Kelima, adanya kegunaan instrumental yaitu hubungan dagang, pembangunan,
dan pertukaran adalah alasan para pedagang untuk masuk islam. Keenam, Taktik
penetrasi Islam diantaranya adalah para pedagang Arab menikah dengan wanita
setempat dan mengislamkan para pembantunya. Selanjutnya, para ulama datang
untuk mendirikan institusi islam yaitu mesjid dan pesantren. Ketujuh, Islam
dijadikan alat untuk melawan Kolonial Barat. Kedelapan, penyebaran Islam akibat
kevakuman religi dan budaya serta institusi karena kehancuran sentralisasi
kerajaan, yaitu kehancuran Sriwijaya pada abad ke-11 dan kehancuran Majapahit ada
bad ke-16.
Islam mengkompromikan kepentingan para pedagang dan para
pengusaha lokal. Oleh karena itu, ada motivasi politik dan ekonomi di sana.
Islam dengan sufinya mengisi kevakuman kultural dan struktural sehingga
diterima oleh koalisi pedagang dan penguasa lokal yang ingin meningkatkan
kekuatan ekonomi dan politik mereka.
Penyebaran agama Islam di Cirebon Hilir lebih pesat daripada
di Cirebon Girang yang dipelopori oleh Haji Purwa, karena Islamisasi di Cirebon
Hilir tidak hanya dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana, tetapi dilaksanakan pula
oleh saudagar-saudagar muslim yang singgah di pelabuhan Muhara Jati.
Islamisasi di daerah Galuh semakin meningkat setelah Syarif
Hidayatullah datang ke Cirebon pada tahun 1470M. Selain singggah di Pasai
setelah tiba di Indonesia, Sunan Gunung Jati datang ke Banten. Di sini
dilihatnya agama Islam telah bekembang sebagai hasil dari dakwah Sunan Ampel
Surabaya. Sebelum datang ke Cirebon, dia terlebih dahulu menemui Sunan Ampel di
Ampeldenta (Gresik). Sunan Ampel selaku guru besar agama Islam di Jawa dan
pimpinan para wali, menugaskan Syarif Hidayat untuk menyebarkan agama islam
diseluruh wilayah Jawa bagian barat dan berkedudukan di bukit Amparan Jati,
Cirebon. Di sana dia mendirikan pesantren. Sebagai guru agama, dia bergelah
Syekh Maulana Jati (Syekh Jati), dan sebagai wali yang kesembilan dia bergelar
Sunan Gunung Jati.
Adapun gelar Susuhunan Jati diperoleh setelah 9 tahun
kemudian ketika diangkat sebagai Tumenggung di Cirebon. Selain itu Sunan Gunung
Jati juga disebut sebagai raja pendeta yang pengertiannya sama dengan khalifah.
Jabatan ini dipegangnya selama 47 tahun, dan kemudian diserahkan kepada
putranya yakni Pangeran Pasarean (1526).
Setelah penyerahan kekuasaan kepada putranya, Sunan Gunung
Jati mengadakan aktivitas dakwah di Jawa Barat. Hasil dakwah dapat kita lihat
dari hasil penyerangan pendudukan sunda kelapa yang gemilang, sehingga
memudakan untuk mematahkan usaha penjajahan Portugis adan penyebaran agamanya.
Tugas penyebaran Islam di Jawa barat ini masih dapat diteruskan hingga akhir
hayatnya pada 1568, dan dimakamkan di Pasir Jati Bukit Sembung, Cirebon. Makam
ini sampai sekarang dapat kita lihat sebagai makam Sunan GunungJati.
Setelah selesai menuntut ilmu pada tahun 1470M. Dia
berangkat ke tanah Jawa untuk mengamalkan ilmunya. Di sana beliau bersama
ibunya disambut gembira oleh Pangeran Cakra Buana. Syarifah Mudain minta agar
diizinkan tinggal di Pasumbangan Gunung Jati dan disana mereka membangun
pesantren untuk meneruskan usahanya Syekh Datuk Latif gurunya pangeran Cakra
Buana. Oleh karena itu Syarif Hidayatullah dipanggil Sunan Gunung Jati. Lalu ia
dikawinkan dengan putri Cakra Buana pada tahun 1479M dengan diangkatnya dia
sebagai pangeran dakwah Islam dilakukannya melalui diplomasi dengan kerajaan
lain.
Sunan Gunung Jati berhasil melaksanakan tugas dan
kewajibannya mengislamkan masyarakat Galuh dan Jawa bagian barat dengan
gemilang. Keberhasilan Sunan Gunung Jati tidak terlepas dari sifat dan sikap serta
tindakannya yang syarat dengan kepemimpinan tradisional, khususnya kepemimpinan
dalam keagamaan. Dia adalah figure manusia ideal dalam ukuran zamannya. Kurang lebih dua tahun setelah memegang pemerintahan daerah
Cirebon (1481/1482), Syarif Hidayatullah (Susuhunan Jati) mengislamkan daerah
Luragung dan Kuningan.
Penyebaran agama islam di Kuningan menunjukkan perkembangan
yang meningkat. Upaya penyebaran agama islam dilanjutkan oleh para pengusa dan
para ulama lokal Kuningan. Hal ini seperti ditunjukkan oleh keberadaan tokoh
ulama yang bernama Haji Hasan Maulani dan desa Lengkong Kuningan. Beliau
dikenal pula dengan sebutan Eyang Hasan Maulani atau Eyang Hasan Menado karena
meninggla di Menado. Beliau dianggap sebagai salah satu tokoh ulama yang
menurunkan ulama-ulama lainnya di Kuningan.
Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati, mengembangkan Islam ke
daerah-daerah lain di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh),
Sunda Kelapa dan Banten. Setelah Gunung Jati wafat, ia digantikan oleh cicitnya
yang terkenal dengan gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Panembahan Ratu
wafat pada tahun 1650, dan digantikan oleh putranya yang bergelar
Panembahan Gerilaya. Keutuhan Cirebon sebagai satu kerajaan hanya sampai masa
kekuasaan pangeran Gerilaya ini. Sepeninggal Gerilaya, sesuai dengan
kehendaknya sendiri, Cirebon diperintah oleh kedua putranya, Martawijaya atau
Panembahan Sepuh dan Kartawijaya atau Panembahan Anom. Panembahan Sepuh
memimpin Kesultanan Kesepuhan sebagai rajanya yang pertama dengan gelar
Syamsuddin sementara Panembahan Anom memimpin kesultanan Kanoman dengan gelar
Badruddin.
A. PENYEBARAN ISLAM
DI SUMEDANG
1. KERAJAAN SUMEDANG
SEBELUM ISLAM
Masyarakat Sumedang, sebelum Islam, mempercayai Agama
Hindu-Budha. Disekitar Gunung Tampomas, daerah Cilangkap dua buah ditemukan
sebuah area Ganesha. Ganesha ialah putra dewa Siwa. Dewa Siwa banyak dipuja
sebagai dewa tertinggi dan dipuja dalam berbagai fungsi. Masa Hindu dan Budha
berakhir setelah Pangeran Santri menikah dengan Nyi Mas Ratu Pucuk Umun
Sumedang dan mengislamkan para pemangku kerajaan sumedanglarang. Islam masuk ke
Sumedang secara kenegaraan dan secara politik kurang lebih pada abad ke-15.
2. KERAJAAN SUMEDANG
ISLAM
Dalam tradisi Sumedang menyatakan bahwa pelopor penyebaran
agama Islam di Sumedanglarang adalah Maulana Muhammad atau Pangeran
Palakaran. Pada tahun 1504, Pangeran Pakalaran menikah dengan seorang puteri
Sindangkasih. Dari perkawinan tersebut lahir Ki Gedeng Sumedan atau dikenal
dengan nama Pangeran Santri pada tahun 1505. Pangeran Santri menukah dengan
Ratu Satyasih, putrid Sunan Corenda yang meneruskan ayahnya menjadi penguasa
Sumedanglarang karena Styasih menyerahkan tampuk kekuasaan kepadanya. Pangeran
Santri kemudian dinobatkan sebagai penguasa Sumedanglarang pada tanggal 21
Oktober 1530. Dia adalah penguasa Sumedanglarang pertama yang menganut agama
Islam, dengan status bawahan Cirebon. Pangeran Santri wafat pada tanggal 2
Oktober 1579 dan dimakamkan di Dayeuh Luhur.
Pangeran Santri dan
Ratu Pucuk Umun
Daerah pesisir Cirebon merupakan pusat dari
kegiatan-kegiatan ekonomi perdagangan yang berlangsung di Pelabuhan juga
merupakan pusat penyebaran agama dan kekuasaan Islam. Pada abad ke-16, di
Kerajaan Sumedanglarang sudah mulai memasuki sistem pemerintahan yang bercorak
Islam. Pemerintahan Islam dimulai sejak Pangeran Santri menikah dengan Satyasih
yang bergelar Ratu Pucuk Umun.
Dari Cirebon Islam tersebar ke daerah pedalaman, termasuk
Sumedang yang menjadi jalur lalu lintas antara Cirebon-Bandung. Pada
pertengahan abad abad ke-16, agam Islam sudah mewarnai perkembangan
Sumedanglarang. Salah satu keturunan Raja Sumedanglarang yang telah masuk Islam
pada waktu itu adalah Ratu Pucuk Umun. Dia menikah dengan Pangeran Santri yang
bergelar Ki Gedeng Sumedang (1505-1579M). Disamping menjadi penguasa
Sumedanglarang, dia bersama istrinya Ratu Pucuk Umun menyebarkan ajaran Islam. Pengganti
Pangeran Santri adalah Pangeran Angkawijaya, anak Pangeran Santri dari Ratu
Satyasih yang dilahirkan pada tahun 1558. Setelah berusia 23 tahun, dia
dinobatkan menjadi raja pada tanggal 18 November 1580, dengan gelar Ulun
Sumedanglarang.
B. PENYEBARAN ISLAM
DI TASIKMALAYA
Penyebaran Islam ke daerah pedalaman dilakukan oleh para
mubalig yang mengabdikan seluruh hidupnya bagi tersyiarnya Islam dan mereka
bermukim di wilayah ini. Ternyata agama islam dapat diterima dengan relative
mudah, cepat, dan luas oleh masyarakat Sunda. Setelah dianut, agama islam itu
tidak dilepaskan lagi oleh umumnya orang Sunda hingga sekarang ini. Setelah
agama islam telah banyak dan lama diterima dan dianut oleh penduduk satu
tempat, maka untuk memenuhi keperluan pengetahuan ajaran agama, etika kehidupan
Islami, dan praktik peribadatan kaum Muslimin setempat, terutama kaum anak-anak
dan orang mudanya, maka di tempat itu dibukalah lembaga pendidikan agama dalam
bentuk pesantren. Pesantren awal yang didirikan di Tatar Sunda adalah pesantren
Quro di Karawang dan pesantren Amparan, terletak sekitar 5km sebelah utara kota
Cirebon.
Walaupun bentuk dan isinya tidak diketahui dengan jelas,
sumber tradisional lokal mengungkapkannya dalam konteks Islami di Tatar Sunda
sebelum kota pelabuhan Cirebon terwujud. Adapun di daerah pedalaman pesantren
yang pertama didirikan adalah pesantren Pamijahan di Tasikmalaya Selatan yang
didirikan oleh Syekh Abdul Muhyi sekitar pada abad ke-17. Setelah
itulah muncul pesantren-pesantren d sejumlah tempat di Tatar Sunda hingga masa
sekarang baik yang berusia lama maupun yang umurnya sebentar.
Ada dua hal yang menarik dari profil pesantren di Tatar
Galuh pada masa awal Islamisasi sampai abad ke-19. Pertama, terdapat kemiripan
pola dan karakter antara pesantren dengan mandala/kebuyuran, Keduanya menempati
lokasi tertentu yang terpisah dari pergaulan masyarakat yang luas, pola hidup
penghuninya mandiri, otoritas guru dominan, dan penggunaan naskah sebagai
sarana bahan ajar. Contoh yang mencolok adalah pesantren di Pamijahan yang
didirikan dan dikelola Syekh Abdul Muhyi. Di samping lokasinya terpencil di
daerah pedalaman, pesantren ini juga dilengkapi dengan gua (Gua Saparwadi)
sebagai prasarana ibadah ibadah dan pendidikan layaknya sebuah pertapaan.
Sebelum masyarakat Pamijahan menganal Islam dan sebelum
datangnya Syekh Abdul Muhyi ke Pamijahan, kepercayaan masyarakat Pamijahan
terhadap roh-roh gaib nenek moyang, penyembah pohon, batu-batu besar dan
benda-benda lainnya atau yang disebut dengan animism dan dinamisme. Menurut
sumber sejarah setempat, bahwa kedatangan Syekh Abdul Muhyi ke Pamijahan juga
mendesak penduduk setempat yang memiliki ilmu Batara Karang yang bermarkas di
dalam gua Safarwadi.
Proses Islamisasi di Pamijahan berlangsung bertahun-tahun.
Karena ketabahan Syekh Abdul Muhyi, sedikit demi sedikit Islam dipeluk oleh
berbagai kalangan. Karena akhlak yang baik seperti dalam sikap yang santun,
berbicara dengan ramah dan dakwah dengan pendekatan persuasive, masyarakat
menaruh simpatik kepadanya dan selanjutnya dengan sukarela mengikuti ajaran
Islam dan menjadi murid Syekh Abdul Muhyi. Dalam menyebarkan ajaran agama Islam
dia tidak memaksakan kehendaknya terhadap masyarakat. Hal ini terlihat, bahwa
tidak semua masyarakat memeluk agama Islam secara spontan, walaupun pada
akhirnya mereka harus pindah dari daerah tersebut karena terdesak oleh tradisi
dan tata cara kehidupan Islam.
Metode dakwah Syekh Abdul Muhyi sama dengan yang dilakukan Wali
Sanga. Oleh karena itu Syekh Abdul Muhyi dianggap sebagai seorang wali oleh
masyarakat Jawa Barat. Bahkan tradisi setempat menyebutnya wali kesepuluh yang
meneruskan tradisi Wali Sanga.
Dalam berdakwah, Syekh Abdul Muhyi menghadapi kendala
geografis dan cultural. Untuk menghadapi kendala geografis, dia harus
turun-naik gunung dalam menyebarkan agama Islam dari satu kampong ke kampong
yang lain mengingat letak perkampungan daerah pegunungan. Priangan merupakan
wilayah pegunungan dan mempunyai hutan yang sangat lebat. Untuk menghadapi
kendala cultural, dia harus memodifikasi Islam sesuai dengan situasi dan
kondisi masyarakat Pamijahan yang sebelumnya sudah memeluk agama Hindu dan
agama nenek moyang. Dalam menghadapi kendala cultural ini, Syekh Haji Abdul
Muhyi tidak hanya mendapat reaksi positif dari masyarakat yang didatanginya,
tetapi juga sekelompok masyarakat yang menghalangi misinya.
C. PENYEBARAN ISLAM
DI CIAMIS
1. PANJALU
Menurut tradisi setempat, Prabu Sanghyang
Borosngora adalah penyebar Islam pertama di Panjalu. Dialah yang telah
meletakkan dasar untuk pengembangan agama Islam disana. Selanjutnya
diteruskan oleh anak dan keturunannya. Penyebaran Islam di Panjalu tergolong
cepat karena didukung oleh para mubaligh-mubaligh dari luar Panjalu. Menurut
R.H Atong Tjakradinata, sesepuh adat Panjalu, ajaran Islam dengan mudah
diterima oleh masyarakat Panjalu karena ajaran Islam mencakup persoalan
ketuhanan, kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesame
manusia, dan dengan alam.
Proses pengembangan Islam di desa Panjalu menurut bapak R.H
Atong melalui empat tahap. Pertama, tahap perkenalan agama Islam kepada
penduduk setempat. Tahap pertama ini tentu dimulai oleh Prabu Sanghyang
Borosngora setelah berguru ke Mekkah. Sejak itu, dia memperkenalkan ajaran
Islam dengan mengajak orang satu persatu. Kedua, tahap penyiaran Islam
secara masal dan terbuka kepada masyarakat. Setelah Prabu Borosngora mempunyai
beberapa pengikut, beliau mengadakan tabligh dan pertemuan-pertemuan untuk
memperdalam dan memperluas jangkauan dakwahnya. Ketiga, memperbesar
pengaruh Islam kedalam berbagai aspek kehidupan dan berupaya mengurangi
pengaruh ajaran agama sebelumnya. Di samping itu Prabu Borosngora memperlihatkan
ilmu-ilmu yang bersumber dari Islam yang dapat mempertunjukkan
kesaktiannya. Keempat, membina dan memperkokoh persatuan dan kesatuan
masyarakat Islam.
2. KAWALI
Untuk memerintah Kawali, Sunan Gunung Jati menempatkan Dalem
Dungkut , anak raja Kuningan (Langlang buana). Pengangkata Dalem Dungkut di
Kawali menjadi permulaan masuknya Islam di daerah Galuh-Kawali, Ciamis.
Pangeran Dungkut (1528-1575) diberi tugas oleh Kesultanan
Cirebon untuk menjadi penguasa di Galuh Kawali menggantikan Prabu Jayadiningrat
. Pangeran Bangsit (1575-1592) adalah putra pangeran Dungkut yang melanjutkan
pemerintahan menggantikan ayahnya serta meluaskan ajaran agama Islam di daerah
Kawali. Pangeran Mahadikusuma (1592-1643) adalah putera Pangeran Bangsit. Dia
juga salah satu ulama yang dipercaya Cirebon untuk menyebarkan agama Islam di
Kawali. Dari Kawali Islam kemudian menyebar ke daerah Ciamis lainnya.
3. KAWASEN
Penguasa Kawasen yang pertama kali membangun Kawasen berasal
dari Galuh Salawe (sekitar Cimaragas sekarang), menantu dari Prabu Galuh Cipta
Permana yang datang untuk menyebarkan Islam.
Tumenggung Sutapura adalah penguasa di kadaleman Kawasen
yang terkenal setelah ayahnya, Dalem Kawasen. Kedaleman Kawasen pada awalnya
merupakan wilayah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh Garatengah.
Raja Galuh Garatengah yang pertama memeluk agama Islam adalah Prabu Cipta
Permana yang menikah dengan Tanduran di Anjung, yaitu puteri dari raja Kawali
yang beragama Islam.
Pada masa pemerintahan dipegang oleh Sutapura, kedaleman
Kawasen semakin berkembang, terutama dalam penyebaran agama islam. Selain itu,
Sutapura juga terkenal gagah berani, hal ini dapart dibuktikan degan
keberhasilannya dalam mengalahkan Dipati Ukur yang memberontak kepada Mataram.
Dengan keberhasilan ini kemudian Sutapura memperoleh gelar Tumenggung
Sutanangga I. Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Tumenggung Sutanangga cukup
berhasil, banyak penduduk yang semula menganut agama Hindu kemudian memeluk
Islam. Begitu pula dalam hal perekonomian, penduduk Kawasen sebagian besar
bermata pencaharian sebagai petani, keberhasilan pertanian di wilayah Kawasen
karena ditunjang oleh daerahnya yang subur, serta cukup mendapatkan air sebagai
penunjang utama pertanian, sebab daerah ini berada di daerah dekat gunung
dengan aliran sungai yang tidak pernah kering. Penduduk Kawasen hidup rukun dan
makmur, mereka sangat menghormai pimpinannya yan arif dan bijaksana.
D. PERKEMBANGAN ISLAM
DI GARUT
1. Kean Santang
Kean Santang adalah putra Prabu Siliwangi. Dia terkenal
gagah berani dan tidak ada seorang pun di Pulau Jawa yang dapat menandinginya.
Pada suatu hari, Kean Santang menghadap ayahnya, yaitu Prabu Siliwangi untuk
menyampaikan bahwa dia ingin melihat darahnya sendiri. Ayahnya tertegun
mendengar keinginan anaknya itu. Diceritakan ada seorang kakek datang menghadap
baginda dan mengatakan bahwa ada orang yang dapat memperlihatkan darah anaknya
yaitu Baginda Ali yang berada di Mekkah. Kean Santang ingin mencari Baginda Ali
ke mekkah dan setelah meminta izin ayahnya, Kean Santang berangkat menuju
Mekkah.
Diceritakan paginya, Baginda Ali beangkat ke Masjidilharam
dengan membawa tongkat. Diperjalanan dia bertemu dengan Kean Santang yang
sedang mencari rumah Ali. Kean Santang menjelaskan bahwa dia berasal dari
Jawa dan maksud kedatangannya adalah untuk mengajak Ali bertarung
adu kekuatan. Baginda Ali berjanji akan mempertemukannya di hadapan Rsulullah,
lalu dia mengaja Kean Santang untuk menemuinya. Dalam perjalanan, Baginda Ali teringat
pada tongkat yang tertancap di tanah tempat tadi itu. Lalu dia menyuruh Kean
Santang mengambilnya. Kean Santang mencoba mencabut tongkat yang ditancapkan
tetapi tidak berhasil. Baginda Ali mencabut tongkat sambil mengucapkankalimah
sahadat dan membaca salawat. Setelah mengetahui bahwa orang itu adalah Baginda
Ali, Kean Santang pun menyatakan takluk dan kemudian mau memeluk agama Islam
serta berganti nama menjadi Sunan Rahmat atau Sunan Bidayah. Nabi tetap member
tugas kepada Kean Santang agar mengislamkan penduduk pulau Jawa.
Kean Santang atau Sunan Rahmat mengislamkan rakyat yang ada
di Batulayang, Lebak Agung, Lebak Wangi, Curug Dogdog, Curug Sempur dan
Padusunan. Adik Sunan Rahmat diserahi daerah Curug Dogdog. Selanjutnya dia
menyebarkan agama Islam di Malasari, Timbangantenan, Dayeuh Pangadegan, Dayeuh
Tambaja, Cilageni, Cikupa, Sangkanluhur, Ciparay, Talaga, Cikaso, pagedeng,
Dayeuh Manggung, Panggung, Lebak jaya dan Karangtenang, Sukapunten,
Kedunghalang, Malere, Singaparna, Batununggal, Tawanggantungan, Cipatenggang,
Cicarulang, Galuh, Parakan, Pageragung, Cikidang, Tegallaja, Panjalu, dan
Cihaurbeuti.
E. PERKEMBANGAN ISLAM
DI LIMBANGAN
Menurut kepercayaan orang Limbangan sebelum Islam, Nyi
Pohaci adalah Dewa pelndung padi. Menurut cerita rakyat, Nyi Pohaci berasal
dari airmata Dewa Anta yang kemudian menjadi telur yang dipersembahkan kepada
gurudan kemudian menetas menjadi anak perempuan yang cantik jelita. Sampai
sekarang, pada sebagian masyarakat, masih ada yang percaya kepada Nyi Pohaci
sehingga masih mengadakan ritual penghormatan dari mulai menanam
sampai menuai padi.
Selain itu, masyarakat Limbangan sebelum mengenal Islam
mempercayai makhluk halus, mempercayai bahwa benda-benda tertentu memiliki
kekuatan. Untuk menghormati makhluk halus dan benda yang memiliki kekuatan
sering diadakan upacara khusus. Upacara itu dilakukan agar makhluk ataupun
benda-benda yang memilki kekuatan mendatangkan berkah dan tidak menatangkan
malapetaka. Sampai sekarang, tradisi tersebut masih dilakukan oleh sebagian
kecil masyarakat Limbangan. Untuk menangkal malapetaka dan untuk melindungi
kampung diadakan penanaman kepala kambing ditengan perkampungan.
Dari uraian diatas, diketahui ajaran-ajaran Hindu dan
kepercayaan kepada roh-roh pernah menjadi pegangan masyarakat Limbanagn.
Setelah Islam diperkenalkan, ajaran Hindu dan kepercayaan yang diwariskan dari
nenek oyang sedikit demi sedikit dapat dihilangkan. Meskipun mayoritas
masyarakat Limbanann sudah memeluk agama Islam tetapi tidak semua unsur atau
pengaruh ajaran-ajaran nenek moyang lenyap. Sampai sekarang masih ada sebagian
kecil masyarakat melakukan tradisi upacara yang biasa dilakukan oleh
masyarakat Limbangan sebelum Islam.
Adipati Liman Senjaya
Kusumah
Adipati Liman Senjaya Kusumah adalah ulama dan penyebar
ajaran islam periode awal di Limbangan. Dia mengajarkan ajaran Islam di keraton
dan menyunat orang yang masuk Islam. Karena keluwesan dalam memimpin
pemerintahan maupun sebagi tokoh agama yang mumpuni, akhirnya banyak rakyat
bahkan para pejabat kerajaan yang tertarik dan akhirnya memeluk agama Islam.
Adipati Liman Senjaya Kusumah diperkirakan lahir pada tahun
1510. Angka tahun itu diperkirakan berdasarkan perhitungan berikut.Pertama,
Adipati Liman Senjaya Kusumah pernah membantu Kean Santang (1425-1550) dan
pernah menghadap Sunan Gunun Jati (1448-1568) untuk mendapat penghormatana atas
jasa-jasanya dalam penyebaran agama Islam. Kedua, tahun lahir
seseorang diperkirakan secara umum dengan selisih dua puluh tahun antara satu
generasi yang satu dengan yang lainnya demikian juga tahun kelahiran Adipati
Liman Senjaya Kusumah dapat diperkitakan dari tahun kelahiran Sunan Rumenggong
(1450), lalu dari kelahiran Nyai Putri Buniwangi (1470), kemudian kelahiran
Prabu Hande Limansanjaya (1490), maka kelahiran Adipati Liman Senjaya Kusumah
dapat diperkirakan tahun1510. Jika angka tahun kelahiran ini dipegang maka
ketika Sunan Cipancar menerima keris dari Kian Santang, dia sudah berusia 30
tahun sedangkan Kean Santang berusia 110 tahun. Peristiwa penyerahan keris
dengan lafad Laa Iqrohaa fiddiin dari Kean Santang kepada Adipati Liman Senjaya
kusumah pada tahun 1540. Pada usia 30 tahun, dia pantas menjadi pembela agama
Islam. Demikian pula dia menghadap Sunan Gunung Jati, terjadi pada tahun
sebelum Sunan Gunung Jati wafat (1568), katakanlah tahun 1560. Pada tahun 1560
Sunan Cipancar berusia 50 tahun. Kiraya wajar pula pada usia 50
tahun Sunan Cipancar sudah menjadi ulama cukup besar sehingga tergolong salah
seorang pemimpin Islam yang di undang pada peremuan terbatas yang penting yang
diadakan oleh Sunan Gunung Jati.
Dakwah Adipati Liman Senjaya Kusumah
Untuk mengajak orang memeluk agama Islam dan untuk mengambil
simpatik masyarakat, Adipati Liman Senjaya Kususmah juga selalu menunjukkan
akhlak yang baik dan selalu melakukan silaturrahmi. Dia selalu berupaya
bertindak adil dan bijaksana meskipun sebagai penguasa dapat berbuat apa
saja. Dalam mengatasi satu persoalan negara pun, dia selalu mengundang
tokoh-tokoh agama Islam, para pendeta dan tokoh-tokoh masyarakat lainya untuk
diajak musyawarah dan diminai pendapatnya. Dengan kebijaksanaan ini pula secara
tidak langsung telah menarik masyarakat yang belum memeluk Islam tertarik pada
agama Islam.
Strategi yang dilakukan oleh Adipati Liman Senjaya Kusumah
untuk menarik simpatik masyarakat supaya memeluk agama Islam adalah mendatangi
rumah dari pintu ke pintu. Dia senantiasa bersikap ramah dan lemah lembut tapi
bukan berarti dia tidak bisa tegas bila diperlukan. Oleh karena itu dia menjadi
pemmpin yang dihormati dan disegani.
E. PERKEMBANGAN ISLAM
DI CANGKUANG
Penyebaran Islam di Cangkuang, Leles Garut dilakukan oleh
Arif Muhammad dan temen-temannya. Arif Muhammad berdakwah dengan arif dan
bijaksana sehingga secara berangsur-angsur masyarakat setempat berpindah
keyakinan dari Hindu ke Islam meskipun sebagian tradisi Hindu masih terus
dilaksanakan seperti hari Rabu menjadi hari besar dan tradisi ini berlanjut
sampai sekarang.
F. PERKEMBANGAN ISLAM
DI MAJALENGKA
Sekitar abad ke-14 pada masa pemerintahan Ratu
Simbarkencana, agama Islam mulai menyebar ke Majalengka yang dibawa oleh santri
Cirebon. Ranggi Mantri atau Suan Parung Gangsa/Pucuk Umun Talaga ditaklukan
oleh Cirebon pada tahun 1530, dan dia pun menjadi pemeluk Islam dan
menjadi bawahan Cirebon.
Proses Penyebaran
Islam
Daerah-daerah yang masuk daerah Kesultanan Cirebon, dan
telah semuanya memeluk agama Islam ialah Pemerintah Talaga, Maja, dan
Majalengka. Penyebaran agama Islam di Majalengka terutama didahului dengan
masuknya para bupati kepada agama itu. Kemudian dibantu oleh penyebar-penyebar
lain diantaranya Dalem Sukahurang atau Syekh Abdul Jalil dan Dalem Panungtung
menyebarkan agama Islam di Maja; Pangeran Suwarga di Talaga; Pangeran Muhammad
dan Siti Armilah di Sindangkasih dan Sunan Rachmat di Bantarujeg.
referensi :
http://sejarahislamdijawabarat.blogspot.com/2012/05/sejarah-peradaban-islam-di-jawa-barat.html
0 Response to "Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat"
Post a Comment
Tinggalkan Komentar Anda