Sejarah Perkembangan Islam di Kepulauan Maluku
Diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate
masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang
telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah
menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga
kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa
keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15.
Penduduk lokal Kampung Wawane, Provinsi Maluku, merupakan
penganut animisme. Lalu seabad kemudian, hal tersebut mulai berubah
seiring dengan kedatangan pedagang Jawa ke provinsi ini. Pedagang-pedagang Jawa
ini tidak hanya berdagang, namun juga menyebarkan ajaran Islam. Mereka mencoba
mengenalkan Islam kepada masyarakat lokal di Maluku, dan kepercayaan animisme
sedikit demi sedikit mulai memudar di Kampung ini.
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Ternate (Kerajaan Gapi)
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Ternate (Kerajaan Gapi)
Kedatangan Empat Perdana merupakan awal datangnya manusia di
Tanah Hitu sebagai penduduk asli Pulau Ambon. Empat Perdana Hitu juga
merupakan bagian dari penyiar Islam di Maluku. Kedatangan Empat Perdana
merupakan bukti sejarah syiar Islam di Maluku yang di tulis oleh
penulis sejarah pribumi tua maupun Belanda dalam berbagai versi seperti Imam
Ridjali, Imam Lamhitu, Imam Kulaba, Holeman, Rumphius dan Valentijn.
Raja ternate pertama yang diketahui memeluk agama islam
adalah Raja Kolano Marhum dan diikuti oleh seluruh kerabat dan pejabat istana. Sepeninggal
beliau, kerajaan ternate dipimpin oleh putranya Zainal Abidin (1486-1500) yang
memakai gelar sultan. Sejak kepemimpinan Sultan Zainal Abidin agama islam
diakui sebagai agama resmi kerajaan dan diberlakukannya syariat islam. Kemudian
beliau membentuk lembaga kerajaan sesuai hokum islam dengan melibatkan para
ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara
total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama di
Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru
pada Sunan Giri di pulau Jawa, disana beliau dikenal sebagai "Sultan
Bualawa" (Sultan Cengkih).
Terkenal dengan daerahnya yang subur dan merupakan penghasil
rempah-rempah terbesar, kepulauan Maluku banyak didatangi pedagang-pedagang,
diantaranya pedagang-pedagang islam. Kedatangan para pedagang islam di Maluku,
secara tidak langsung membuat agama islam tersebar melalui jalur perdagangan
yang selanjutnya disebarkan oleh para mubaligh atau ulama yang salah satunya
berasal dari pulau jawa.
Perkembangan Islam di Maluku selanjutnya ditandai dengan
dibangunnya Masjid Wapaue pada 1414 yang merupakan masjid tertua yang ada di Indonesia.
Mesjid tua Wapauwe ini terletak dekat dengan Benteng Amsterdam di desa Kaitetu,
Kabupaten Hila, Provinsi Maluku. Terletak di kampung Wawane, dan menurut
sejarah setempat mesjid ini dibangun saudagar-saudagar kaya yang bernama
Perdana Jamillu dan Alahulu.
Masjid ini dinamakan Masjid Wapaue karena terletak di bawah
pohon mangga. Dalam bahasa setempat, "wapa" berarti "bawah"
dan "uwe" berarti mangga. Keseluruhan bangunan masjid ini terbuat
dari kayu sagu yang dilekatkan satu sama lain tanpa menggunakan paku. Sampai
saat ini Masjid Wapaue ini masih terawat dan digunakan juga sebagai galeri
museum yang berisi koleksi-koleksi antik peninggalan kebudayaan muslim maluku
kuno antara lain Bedug yang berumur seratus tahun, Al-Quran antik yang ditulis
tangan, sebuah kaligrafi tulisan arab yang ditaruh di sebuah lempengan metal
dan sebuah timbangan kayu yang digunakan untuk menimbang zakat.
Berikut Kerajaan-kerajaan Islam yang Terdapat di Maluku
Berikut Kerajaan-kerajaan Islam yang Terdapat di Maluku
a. Kerajaan Gapi
(Kesultanan Ternate)
Kerajaan Gapi atau yang kemudian lebih dikenal
sebagai Kesultanan Ternate (mengikuti nama ibukotanya) adalah salah
satu dari 4 kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam
tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan
Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13
hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke
-16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Di masa jaya
kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan
tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di
pasifik.
Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13,
penduduk Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di
Ternate terdapat 4 kampung yang masing – masing dikepalai oleh seorang momole
(kepala marga), merekalah yang pertama – tama mengadakan hubungan dengan para
pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah – rempah. Penduduk
Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab, Jawa, Melayu dan
Tionghoa. Oleh karena aktivitas perdagangan yang semakin ramai ditambah ancaman
yang sering datang dari para perompak maka atas prakarsa momole Guna pemimpin
Tobona diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan
mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.
Tahun 1257 momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan
diangkat sebagai Kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo
(1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan
selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai
“Gam Lamo” atau kampung besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan
Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota Ternate, sehingga kemudian orang
lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah
pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari
sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan
yang berpengaruh dan terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.
Di masa – masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole. Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut Kolano. Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan gelar Sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.
Di masa – masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole. Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut Kolano. Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan gelar Sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.
Setelah Sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan
Jogugu (perdana menteri) dan Fala Raha sebagai para penasihat. Fala Raha atau
Empat Rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung kesultanan
sebagai representasi para momole di masa lalu, masing – masing dikepalai
seorang Kimalaha. Mereka antara lain ; Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi.
Pejabat – pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan – klan ini. Bila
seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu
klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tufkange (Dewan
18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji dll. Untuk lebih jelasnya lihat
Struktur organisasi kesultanan Ternate.
Kesultanan Tidore adalah kerajaan Islam yang
berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku
Utara, Indonesia sekarang. Pada masa kejayaannya (sekitar abad
ke-16 sampai abad ke-18), kerajaan ini menguasai sebagian
besar Halmahera selatan, Pulau Buru, Ambon, dan banyak
pulau-pulau di pesisir Papua barat.
Pada tahun 1521, Sultan Mansur dari Tidore
menerima Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi
kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu
dengan Portugis. Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada
tahun 1663 karena protes dari pihak Portugis sebagai pelanggaran
terhadap Perjanjian Tordesillas 1494, Tidore menjadi salah kerajaan
paling independen di wilayah Maluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan
Saifuddin (memerintah1657-1689), Tidore berhasil menolak
pengusaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka
hingga akhir abad ke-18.
c. Kesultanan
Bacan
Kesultanan Bacan adalah suatu kerajaan yang berpusat
di Pulau Bacan, Kepulauan Maluku. Raja Bacan pertama yang
memeluk Islam adalah Raja
Zainulabidin yang bersyahadatpada tahun 1521. Meski berada di
Maluku, wilayahnya cukup luas hingga ke wilayah Papua. Banyak kepala suku
di wilayah Waigeo, Misool dan beberapa daerah lain yang berada
di bawah administrasi pemerintahan kerajaan Bacan.
d. Kerajaan
Tanah Hitu
Kerajaan Tanah Hitu adalah sebuah
kerajaan Islam yang terletak di Pulau Ambon,Maluku. Kerajaan ini
memiliki masa kejayaan antara 1470-1682 dengan raja pertama yang bergelar Upu
Latu Sitania (raja tanya) karena Kerajaan ini didirikan oleh Empat Perdana
yang ingin mencari tahu faedah baik dan tidak adanya Raja. Kerajaan Tanah Hitu
pernah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan memainkan peran yang sangat
penting di Maluku, disamping melahirkan intelektual dan para pahlawan pada
zamannya. Beberapa di antara mereka misalnya adalah Imam
Ridjali, Talukabessy, Kakiali dan lainnya yang tidak tertulis di
dalam Sejarah Maluku sekarang, yang beribu Kota Negeri Hitu. Kerajaan ini
berdiri sebelum kedatangan imprialisme barat ke wilayah Nusantara.
Kerajaan Tidore, Jailolo, Bacan, Obi dan Loloda
merupakan saingan Ternate memperebutkan hegemoni di Maluku. Berkat perdagangan
rempah Ternate menikmati pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, dan untuk
memperkuat hegemoninya di Maluku Ternate mulai melakukan ekspansi. Hal ini menimbulkan
antipati dan memperbesar kecemburuan kerajaan lain di Maluku, mereka memandang
Ternate sebagai musuh bersama hingga memicu terjadinya perang. Demi
menghentikan konflik yang berlarut – larut, raja Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya
atau disebut juga Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang raja – raja
Maluku yang lain untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan.
Persekutuan ini kemudian dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond.
Butir penting dari pertemuan ini selain terjalinnya persekutuan adalah
penyeragaman bentuk kelembagaan kerajaan di Maluku. Oleh karena pertemuan ini
dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat maka disebut juga sebagai
persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku).
Kedatangan Portugal dan Perang Saudara
Di masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate
semakin berkembang, rakyatnya diwajibkan berpakaian secara islami, teknik
pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan
untuk memperkuat pasukan Ternate. Di masa ini pula datang orang Eropa pertama
di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) tahun 1506. Tahun 1512 Portugal untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate
dibawah pimpinan Fransisco Serrao, atas persetujuan Sultan, Portugal diizinkan
mendirikan pos dagang di Ternate. Portugal datang bukan semata – mata untuk
berdagang melainkan untuk menguasai perdagangan rempah – rempah Pala dan
Cengkih di Maluku. Untuk itu terlebih dulu mereka harus menaklukkan Ternate.
Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris – pewaris yang masih sangat belia.
Janda sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan
bertindak sebagai wali. Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan
Ternate dan Tidore dibawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya,
pangeran Hidayat (kelak Sultan Dayalu) dan pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu
Hayat II). Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya
sendiri. Portugal memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga
pecah perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran
Taruwese didukung Portugal. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru
dikhianati dan dibunuh Portugal. Gubernur Portugal bertindak sebagai penasihat
kerajaan dan dengan pengaruh yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan
untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan
Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa –
India. Disana ia dipaksa Portugal untuk menandatangani perjanjian menjadikan
Ternate sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan Portugal, namun perjanjian
itu ditolak mentah-mentah Sultan Khairun (1534-1570).
Pengusiran Portugal
Perlakuan Portugal terhadap saudara – saudaranya membuat
Sultan Khairun geram dan bertekad mengusir Portugal dari Maluku. Tindak –
tanduk bangsa barat yang satu ini juga menimbulkan kemarahan rakyat yang
akhirnya berdiri di belakang sultan Khairun. Sejak masa sultan Bayanullah,
Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam
utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan
kesultanan Malaka tahun 1511. Ketiganya membentuk Aliansi Tiga untuk membendung
sepak terjang Portugal di Nusantara.
Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan
perang pengusiran Portugal. Kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat,
selain memiliki benteng dan kantong kekuatan di seluruh Maluku mereka juga
memiliki sekutu – sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk menghadang
Ternate. Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugal
di Malaka, Portugal di Maluku kesulitan mendapat bala bantuan hingga terpaksa
memohon damai kepada sultan Khairun. Secara licik Gubernur Portugal, Lopez de
Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan akhirnya dengan
kejam membunuh Sultan yang datang tanpa pengawalnya. Pembunuhan Sultan Khairun
semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugal, bahkan seluruh
Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-1583),
pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur,
setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugal meninggalkan Maluku untuk
selamanya tahun 1575. Kemenangan rakyat Ternate ini merupakan kemenangan
pertama putera-putera nusantara atas kekuatan barat. Dibawah pimpinan Sultan
Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi
Utara dan Tengah di bagian barat hingga kepulauan Marshall dibagian timur, dari
Philipina (Selatan) dibagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara dibagian
selatan. Sultan Baabullah dijuluki “penguasa 72 pulau” yang semuanya
berpenghuni (sejarawan Belanda,Valentijn menuturkan secara rinci nama-nama
ke-72 pulau tersebut) hingga menjadikan kesultanan Ternate sebagai
kerajaan islam terbesar di Indonesia timur,
disamping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan
tengah nusantara kala itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama
abad 14 dan 15 entah sengaja atau tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini
padahal mereka adalah pilar pertama yang membendung kolonialisme barat.
Kedatangan Belanda
Sepeninggal Sultan Baabullah Ternate mulai melemah, Spanyol
yang telah bersatu dengan Portugal tahun 1580 mencoba menguasai kembali Maluku
dengan menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol memperkuat kedudukannya
di Filipina, Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao untuk menghalau
Spanyol namun gagal bahkan sultan Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan
dibuang ke Manila. Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate
meminta bantuan Belanda tahun 1603. Ternate akhirnya sukses menahan Spanyol
namun dengan imbalan yang amat mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan
menguasai Ternate, tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak
monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Di
tahun 1607 pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan
benteng pertama mereka di nusantara.
Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang
antara Belanda dan Ternate menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan
bangsawan Ternate. Diantaranya adalah pangeran Hidayat (15?? – 1624), Raja muda
Ambon yang juga merupakan mantan wali raja Ternate ini memimpin oposisi yang
menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia mengabaikan perjanjian monopoli
dagang Belanda dengan menjual rempah – rempah kepada pedagang Jawa dan
Makassar.
Perlawanan rakyat Maluku dan Kejatuhan Ternate
Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada sultan –
sultan Ternate semakin kuat, Belanda dengan leluasa mengeluarkan peraturan yang
merugikan rakyat lewat perintah sultan, sikap Belanda yang kurang ajar dan
sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan kekecewaan semua kalangan.
Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan yang dikobarkan bangsawan
Ternate dan rakyat Maluku.
Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga
rempah yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar – besaran
pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi
Tochten, akibatnya rakyat mengobarkan perlawanan. Tahun 1641, dipimpin oleh
raja muda Ambon Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate – Hitu –
Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu
kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya
tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu,
kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.
Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di
Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah
(1648-1650,1655-1675) yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti
kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan Mandarsyah. Tiga
diantara pemberontak yang utama adalah trio pangeran Saidi, Majira dan
Kalumata. Pangeran Saidi adalah seorang Kapita Laut atau panglima tertinggi
pasukan Ternate, pangeran Majira adalah raja muda Ambon sementara pangeran
Kalumata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin pemberontakan
di Maluku tengah sementara pangeran Kalumata bergabung dengan raja Gowa sultan
Hasanuddin di Makassar. Mereka bahkan sempat berhasil menurunkan sultan
Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655) namun berkat
bantuan Belanda kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun
pemberontakan Saidi cs berhasil dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa secara kejam
hingga mati sementara pangeran Majira dan Kalumata menerima pengampunan Sultan
dan hidup dalam pengasingan.
Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal
dengan nama Sultan Sibori (1675 – 1691) merasa gerah dengan tindak – tanduk
Belanda yang semena – mena. Ia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk
Abdulrahman penguasa Mindanao, namun upayanya untuk menggalang kekuatan kurang
maksimal karena daerah – daerah strategis yang bisa diandalkan untuk basis
perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai perjanjian yang
dibuat para pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa menyingkir ke Jailolo. Tanggal
7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya
menjadikan Ternate sebagai kerajaan dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri
masa Ternate sebagai negara berdaulat.
Meski telah kehilangan kekuasaan mereka beberapa Sultan
Ternate berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman
Belanda. Dengan kemampuan yang terbatas karena selalu diawasi mereka hanya
mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara diam – diam. Yang terakhir tahun
1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan perlawanan rakyat
di wilayah – wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah Banggai dibawah pimpinan
Hairuddin Tomagola namun gagal. Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao
dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil menimbulkan kerugian di pihak Belanda,
banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk Coentroleur Belanda Agerbeek,
markas mereka diobrak – abrik. Akan tetapi karena keunggulan militer serta
persenjataan yang lebih lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut berhasil dipatahkan,
kapita Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan Haji Muhammad Usman
Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh karenanya berdasarkan
keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47, sultan
Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan sultan dan seluruh hartanya
disita, beliau dibuang ke Bandung tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927.
Pasca penurunan sultan Haji Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat lowong
selama 14 tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan
kesultanan. Sempat muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus
kesultanan Ternate namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan
reaksi keras yang bisa memicu pemberontakan baru sementara Ternate berada jauh
dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia.
Warisan Ternate
Imperium nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah
runtuh sejak pertengahan abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan
dengan sejarah yang panjang masih terus terasa hingga berabad
kemudian. Ternate memiliki andil yang sangat besar dalam kebudayaan
nusantara bagian timur khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan Maluku.
Pengaruh itu mencakup agama, adat istiadat dan bahasa.
Sebagai kerajaan pertama yang memeluk Islam Ternate memiliki
peran yang besar dalam upaya pengislaman dan pengenalan syariat-syariat Islam
di wilayah timur nusantara dan bagian selatan Filipina. Bentuk organisasi
kesultanan serta penerapan syariat Islam yang diperkenalkan pertama kali oleh
sultan Zainal Abidin menjadi standar yang diikuti semua kerajaan di Maluku
hampir tanpa perubahan yang berarti. Keberhasilan rakyat Ternate dibawah
sultan Baabullah dalam mengusir Portugal tahun 1575 merupakan kemenangan
pertama pribumi nusantara atas kekuatan barat, oleh karenanya almarhum
Buya Hamka bahkan memuji kemenangan rakyat Ternate ini telah menunda penjajahan
barat atas bumi nusantara selama 100 tahun sekaligus memperkokoh kedudukan
Islam, dan sekiranya rakyat Ternate gagal niscaya wilayah timur Indonesia akan
menjadi pusat kristen seperti halnya Filipina.
Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut
pula mengangkat derajat Bahasa Ternate sebagai bahasa pergaulan di berbagai
wilayah yang berada dibawah pengaruhnya. Prof E.K.W. Masinambow dalam
tulisannya; “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa – bahasa Austronesia dan Non
Austronesia” mengemukakan bahwa bahasa Ternate memiliki dampak terbesar
terhadap bahasa Melayu yang digunakan masyarakat timur Indonesia. Sebanyak 46%
kosakata bahasa Melayu di Manado diambil dari bahasa Ternate. Bahasa Melayu –
Ternate ini kini digunakan luas di Indonesia Timur terutama Sulawesi Utara,
pesisir timur Sulawesi Tengah dan Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang
berbeda – beda. Dua naskah Melayu tertua di dunia adalah naskah surat sultan
Ternate Abu Hayat II kepada Raja Portugal tanggal 27 April dan 8 November 1521
yang saat ini masih tersimpan di museum Lisabon – Portugal.
Referensi :
https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=446803625364822&id=446266568751861
http://makalahtugasku.blogspot.com/2012/12/makalah-perkembangan-islam-di-maluku.html
http://saripedia.wordpress.com/tag/sejarah-masuknya-islam-ke-wilayah-maluku/
0 Response to "Sejarah Perkembangan Islam di Kepulauan Maluku"
Post a Comment
Tinggalkan Komentar Anda