Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Sumedang Larang Jawa Barat

Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Sumedang Larang Jawa Barat. Kerajaan Sumedang Larang merupakan salah satu kerajaan Islam yang ada di Indonesia. Berdirinya kerajaan diperkirakan sejak abad ke-16 Masehi di Jawa Barat. Kerajaan ini tidak sebesar popularitas kerajaan islam yang ada di jawa seperti demak, mataram banten dan Cirebon, namun keberadaannya merupakan bukti sejarah yang kuat pengaruhnya dalam penyebaran islam di jawa barat.

Sejarah

Awalnya kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh dan masih menganut ajaran agama Hindu. Kerajaan Sunda-Galuh didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor.

Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Perubahan nama tersebut adalah :

1. Kerajaan Tembong Agung. Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur. Dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII.

2. Pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi HimbarBuana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi.

Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang kemudian berubah lagi menjadi Sumedang. Pendapat lain mengatakan bahwa kata Sumedang berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.

Kerajaan Sumedang Larang yang kini sudah menjadi Kabupaten Sumedang merupakan salah satu kerajaan sunda seperti halnya Kerajaan Pajajaran yang juga masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu Kerajaan Sunda-Galuh, namun karena keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir akibat serangan aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak. Sejak itulah, Kerajaan Sumedang Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri.

Baca juga : Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Mataram


Pemerintahan berdaulat

Berikut nama Raja-raja Kerajaan Sumedang yang pernah memerintah

No.
Nama
Tahun
1
Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang
a
Prabu Guru Aji Putih
900
b
Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela
950
c
Prabu Gajah Agung
980
d
Sunan Guling
1000
e
Sunan Tuakan
1200
f
Nyi Mas Ratu Patuakan
1450
g
Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata
1530 - 1578
h
Prabu Geusan Ulun / Pangeran Angkawijaya
1578 - 1601
2
Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan Mataram II
a
R. Suriadiwangsa / Pangeran Rangga Gempol I
1601 - 1625
b
Pangeran Rangga Gede
1625 - 1633
c
Pangeran Rangga Gempol II
1633 - 1656
d
Pangeran Panembahan / Pangeran Rangga Gempol III
1656 - 1706
3
Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan VOC, Inggris, Belanda dan Jepang
a
Dalem Tumenggung Tanumaja
1706 - 1709
b
Pangeran Karuhun
1709 - 1744
c
Dalem Istri Rajaningrat
1744 - 1759
d
Dalem Anom
1759 - 1761
e
Dalem Adipati Surianagara
1761 - 1765
f
Dalem Adipati Surialaga
1765 - 1773
g
Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang)
1773 - 1775
h
Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang)
1775 - 1789
i
Dalem Aria Sacapati
1789 - 1791
j
Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata
1791 - 1800
k
Bupati Republik Batavia Nederland
1800 - 1810
l
Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Napoleon Bonaparte
1805 - 1810
m
Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte
1810 - 1811
n
Bupati Masa Pemerintahan Inggris
1811 - 1815
o
Bupati Kerajaan Nederland
1815 - 1828
p
Dalem Adipati Kusumahyuda / Dalem Ageung
1828 - 1833
q
Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit
1833 - 1834
r
Dalem Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja
1834 - 1836
s
Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Soegih
1836 - 1882
t
Pangeran Aria Suria Atmaja / Pangeran Mekkah
1882 - 1919
u
Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga / Dalem Bintang
1919 - 1937
v
Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri
1937 - 1942
w
Bupati Masa Pemerintahan Jepang
1942 - 1945
x
Bupati Masa Peralihan Republik Indonesia
1945 - 1946
4
Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia
a
Raden Hasan Suria Sacakusumah
1946 - 1947
5
Bupati Masa Pemerintahan Belanda / Indonesia
a
Raden Tumenggung M. Singer
1947 - 1949
6
Bupati Masa Pemerintahan Negara Pasundan
a
Raden Hasan Suria Sacakusumah
1949 - 1950


Perkembangan Kerajaan Sumedang Larang Pada Masa Pemerintahan Raja-Raja Sumedang Larang

Masa pemerintahan Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)

Prabu Agung Resi Cakrabuana (Prabu Tajimalela) merupakan raja yang berperan penting dalam berdirinya kerajaan Sumedang. Pada awal berdirinya kerajaan ini bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau memiliki tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.

Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan para keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.

Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.

Baca juga : Sejarah kerajaan Islam Kesultanan Demak

Masa pemerintahan Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri

Pada pertengahan abad ke-16 kerajaan Sumedang Larang mulai bercorak Islam. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang Larang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah menikahi Pangeran Kusumahdinata (1505-1579 M) lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.

Pangeran Kusumahdinata merupakan putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon.  Juga adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda.

Berikut putra-putri Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri, yaitu :
  1. Pangeran Angkawijaya (yang terkenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
  2. Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.
  3. Kiyai Demang Watang di Walakung.
  4. Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
  5. Santowaan Cikeruh.
  6. Santowaan Awiluar.
  7. Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.

Masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun

Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) merupakan anak dari Pangeran Santri dan beliaulah yang menggantikan kekuasaan ayahnya. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota.

Wilayah kekuasaannya pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun meliputi :
  1. Kuningan
  2. Bandung
  3. Garut
  4. Tasik
  5. Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis).

Kemajuan pesat kerajaan ini mengalami kemajuan pesat saat Prabu Geusan Ulun memerintah. Kemajuan tersebut mulai dari bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan.

Bergabungnya Kerajaan Pajajaran Galuh Pakun

Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan bergabung dengan kerajaan Sumedang larang  karena pada saat itu Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Pada saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang Larang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.

Pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten, akan tetapi mahkota kerajaan dapat diselamatkan. Dengan diberikannya mahkota kerajaan pajajaran tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali kecuali Cirebon dan Jayakarta, batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.

Bergabung menjadi bagian kesultanan Mataram

Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante).

Setelah mendalami agama Islam pesantren di Demak, dalam perjalanan pulang ke Sumedang Larang ia mampir ke Kerjaan Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon. Beliau disambut gembira karena mereka berdua masih dalam ikatan kekeluargaan karena sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.

Karena sikap dan perilakunya yang sangat baik dan wajah yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Dan ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dan Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri sehingga akhirnya Ratu Harisbaya ikut ke Sumedang Larang. Panembahan Ratu yang mengetahui kejadian tersebut marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang Larang.

Sultan Agung dari Mataram yang mengetahui konflik tersebut meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang Larang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.

Istri dan Anak Prabu Geusan Ulun

Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri, istri-istri beliau adalah :
  1. Nyi Mas Cukang Gedeng Waru merupakan istri pertama adalah putri Sunan Pada
  2. Ratu Harisbaya dari Cirebon
  3. Nyi Mas Pasarean.

Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas putra-putri :
  1. Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
  2. Raden Aria Wirareja, di Lemahbeureum, Darmawangi
  3. Kiyai Kadu Rangga Gede
  4. Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
  5. Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
  6. Raden Ngabehi Watang
  7. Nyi Mas Demang Cipaku
  8. Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
  9. Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
  10. Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
  11. Nyi Mas Rangga Pamade
  12. Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
  13. Rd. Suriadiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panembahan Ratu
  14. Pangeran Tumenggung Tegalkalong
  15. Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.
  16. Ketika beliau wafat pada tahun 1608, Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I yang adalah putera angkat beliau menggantikan kepemimpinannya. Ia juga dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa.
  17. Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir dari Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).

Pemerintahan di bawah Mataram

Dipati Rangga Gempol

Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M Sumedang Larang dijadikannya wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' diubahnya menjadi 'kabupatian wedana'. Hal ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan Kerajaan Banten dan Belanda, yang sedang mengalami konflik dengan Mataram. Sultan Agung kemudian memberikan perintah kepada Rangga Gempol beserta pasukannya untuk memimpin penyerangan ke SampangMadura. Sedangkan pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.

Dipati Rangga Gede

Ketika setengah kekuatan militer kadipaten Sumedang Larang diperintahkan pergi ke Madura atas titah Sultan Agung, datanglah dari pasukan Kerajaan Banten untuk menyerbu. Karena Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.

Dipati Ukur

Pada Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur). Membawa surat tugas dari Sultan Agung, untuk memerintahkan Adipati Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di Batavia dengan bantuan pasukan dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628. Dalam surat tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang Batavia. Tapi, setelah seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung datang sementara logistic makin menipis. Karena logistic yang kian menipis dan takut kalau mental prajurit keburu turun maka Dipati Ukur pun memutuskan untuk terlebih dahulu pergi ke Batavia menggempur VOC sambil menunggu bantuan pasukan dari Jawa.

Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang melawan VOC, pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak ada di sana.Tersinggung karena merasa tak dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang mati-matian menggempur VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda.

Ditengah peperangan melawan VOC, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari Enden Saribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa para gadis, istri-istri prajurit dan bahkan dirinya sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan Mataram dan pasukannya. Panglima dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam rangka mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa di Karawang, para panglima ini kemudian melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan juga merampas harta benda mereka.

Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk menghentikan perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh Tatar Ukur, atau Baleendah - Dayeuhkolot sekarang). Dipati Ukur yang marah dengan kelakuan para utusan Mataram itu sesampainya di Pabuntelan langsung menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya, dari semua utusan itu ada satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung perihal apa yang dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap teman-temannya.
Dalam ‘Negara Kerta Bhumi’ disebutkan bahwa salah satu watak Sultan Agung adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar dari hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram bisa gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur. Sultan Agung pun murka karena bagaimana pun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram adalah karena mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati. Akhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram.

Dipati Ukur sadar bahwa dirinya sejak sekarang harus menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi kabupaten yang mandiri. Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra.  Sebelum berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan kabupaten mandiri tiba-tiba Bagus Sutapura pemuda yang sakti mandraguna (putra dari bupati Kawasen, wilayah Galuh) yang merupakan algojo yang diutus oleh Tumenggung Narapaksa datang untuk menangkapnya. Terjadilah pertarungan sengit antar keduanya, dikabarkan pertempuran tersebut terjadi hingga 40 hari 40 malam. Setelah semua tenaga terkuras akhirnya Dipati Ukur pun dapat diringkus kemudian dibawa ke Cirebon untuk diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur pun akhirnya di hukum mati di alun-alun Mataram dengan cara dipenggal kepalanya.

Pembagian wilayah kerajaan

Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk memerintah di Sumedang setelah bebas dari tahanan. Sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis), oleh Mataram dibagi menjadi tiga bagian:
  1. Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha/R. Wirawangsa,
  2. Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun-angun,
  3. Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya.

Wilayah diatas tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede (atau Rangga Gempol II), yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wedana Bupati (kepala para bupati) Priangan.

Peninggalan budaya

Adapun artefak sejarah berupa pusaka perang, atribut kerajaan, perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat secara umum di Museum Prabu Geusan Ulun.

Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sumedang_Larang diakses tanggal 26 agustus 2014

0 Response to "Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Sumedang Larang Jawa Barat"

Post a Comment

Tinggalkan Komentar Anda

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel