Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Inderapura

sejarah kerajaan islam kesultanan inderapura
bendera inderapura
foto : wikipedia
Sejarah kerajaan Islam Kesultanan Inderapura. Kerajaan Inderapura terletak di wilayah kabupaten pesisir selatan provinsi sumatera barat dan berbatasan dengan provinsi Bengkulu dan Jambi. Kerajaan ini adalah salah satu kerajaan islam yang ada di pulau sumatera dan pernah menjadi bawahan (vazal) Kerajaan Pagaruyung. Namun dalam pemerintahaannya kerajaan ini berdiri sendiri dan bebas mengatur urusan pemerintahannya.

Sejarah Pendirian

Nama Inderapura dikenal juga sebagai Ujung Pagaruyung. Pernah berada dibawah pemerintahan Kesultanan Pagaruyung. Pada abad ke-15 ketika melemahnya kekuasaan pagaruyung, beberapa daerah pada kawasan pesisir Minangkabau seperti Inderagiri, Jambi, dan Inderapura dibiarkan mengurus dirinya sendiri.
Inderapura mengalami perkembangan dimulai saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Sehingga arus perdagangan yang melalui Selat Malaka sebagian besar beralih ke pantai barat Sumatera dan Selat Sunda.

Tidak diketahui kapan tepatnya Inderapura mencapai status negeri merdeka. Namun diperkirakan, ini bertepatan dengan mulai maraknya perdagangan lada di wilayah tersebut. Pada pertengahan abad keenam belas didorong usaha penanaman lada batas selatan Inderapura mencapai Silebar (sekarang di Provinsi Bengkulu). Pada masa ini Inderapura menjalin persahabatan dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Aceh.

Inderapura menjalin persahabatan dengan Aceh melalui ikatan perkawinan antara Raja Dewi, putri Sultan Munawar Syah dari Inderapura, dengan Sultan Firman Syah, saudara raja Aceh saat itu, Sultan Ali Ri'ayat Syah (1568-1575). Lewat hubungan perkawinan ini dan kekuatan ekonominya Inderapura mendapat pengaruh besar di Kotaraja (Banda Aceh), bahkan para hulubalang dari Inderapura disebut-sebut berkomplot dalam pembunuhan putra Sultan Ali Ri'ayat Syah, sehingga melancarkan jalan buat suami Raja Dewi naik tahta dengan nama Sultan Sri Alam pada 1576. Walau kekuasaannya hanya berlangsung selama tiga tahun sebelum tersingkir dari tahtanya karena pertentangan dengan para ulama di Aceh.
Namun pengaruh Inderapura terus bertahan di Kesultanan Aceh, dari 1586 sampai 1588 salah seorang yang masih berkaitan dengan Raja Dewi, memerintah dengan gelar Sultan Ali Ri'ayat Syah II atau Sultan Buyong, sebelum akhirnya terbunuh oleh intrik ulama Aceh.

Perekonomian

Berdasarkan laporan sejarah Belanda, tahun 1616 Inderapura merupakan sebuah kerajaan yang makmur dibawah pemerintahan Raja Itam, serta sekitar 30.000 rakyatnya terlibat dalam pertanian dan perkebunan yang mengandalkan komoditi beras dan lada. Selanjutnya pada masa Raja Besar sekitar tahun 1624, VOC berhasil membuat perjanjian dalam pengumpulan hasil pertanian tersebut langsung dimuat ke atas kapal tanpa mesti merapat dulu di pelabuhan, serta dibebaskan dari cukai pelabuhan. Begitu juga pada masa Raja Puti, pengganti Raja Besar, Inderapura tetap menerapkan pelabuhan bebas cukai dalam mendorong perekonomiannya.

Setelah ekspedisi penghukuman tahun 1633 oleh Kesultanan Aceh, sampai tahun 1637 Inderapura tetap tidak mampu mendongkrak hasil pertaniannya mencapai hasil yang telah diperoleh pada masa-masa sebelumnya. Di saat penurunan pengaruh Aceh, Sultan Muzzaffar Syah mulai melakukan konsolidasi kekuatan, yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya Sultan Muhammad Syah yang naik tahta sekitar tahun 1660 dan mulai kembali menjalin hubungan diplomatik dengan Belanda dan Inggris.

Lada dan Emas sebagai sumber konflik

Lada, rempah-rempah dan emas adalah hasil terbesar dan sumber kekayaan dan kesuksesan Indrapura. Tetapi oleh lada dan emas itu pulalah Indrapura jatuh dan tak sanggup berdiri lagi.
Indrapura di incar oleh para pemburu-pemburu emas dari Nusantara dan dari berbagai negeri. Bangsa Portugis dan Spanyol menjelajahi dunia untuk mencari emas, lalu mereka menelusuri pantai barat Sumatera mencari Pulau Emas itu disekitar Pulau Nias.

Penurunan

Di bawah Sultan Iskandar Muda, kesultanan Aceh seraya memerangi negeri-negeri penghasil lada di Semenanjung Malaya, dan juga berusaha memperkuat cengkeramannya atas monopoli lada dari pantai barat Sumatera. Kendali ketat para wakil Aceh (disebut sebagai panglima) di Tiku dan Pariaman atas penjualan lada mengancam perdagangan Inderapura lewat pelabuhan di utara. Karena itu Inderapura mulai mengembangkan bandarnya di selatan, Silebar, yang biasanya digunakan untuk mengekspor lada lewat Banten.

Inderapura juga berusaha mengelak dari membayar cukai pada para panglima Aceh. Ini memancing kemarahan penguasa Aceh yang mengirim armadanya pada 1633 untuk menghukum Inderapura. Raja Puti yang memerintah Inderapura saat itu dihukum mati beserta beberapa bangsawan lainnya, dan banyak orang ditawan dan dibawa ke Kotaraja. Aceh menempatkan panglimanya di Inderapura dan Raja Malfarsyah diangkat menjadi raja menggantikan Raja Puti.

Di bawah pengganti Iskandar Muda, Sultan Iskandar Tsani kendali Aceh melemah. Pada masa pemerintahan Ratu Tajul Alam pengaruh Aceh di Inderapura mulai digantikan Belanda (VOC). Dominasi VOC diawali ketika Sultan Muhammad Syah meminta bantuan Belanda memadamkan pemberontakan di Inderapura pada tahun 1662. Pemberontakan ini dipicu oleh tuntutan Raja Adil yang merasa mempunyai hak atas tahta Inderapura berdasarkan sistem matrilineal. Akibatnya Sultan Inderapura terpaksa melarikan diri beserta ayah dan kerabatnya. Kemudian Sultan Mansur Syah, dikirim ke Batavia menanda-tangani perjanjian yang disepakati tahun 1663 dan memberikan VOC hak monopoli pembelian lada, dan hak pengerjaan tambang emas.Pada Oktober 1663 pemerintahan Inderapura kembali pulih, dan Sultan Inderapura mengakui Raja Adil sebagai wakilnya yang berkedudukan di Manjuto.

Pada masa Sultan Muhammad Syah, Inderapura dikunjungi oleh para pelaut Bugis yang dipimpin oleh Daeng Maruppa yang kemudian menikah dengan saudara perempuan Sultan Muhammad Syah, kemudian melahirkan Daeng Mabela yang bergelar Sultan Seian, berdasarkan catatan Inggris, Daeng Mabela pada tahun 1688 menjadi komandan pasukan Bugis untuk EIC.

Sultan Muhammad Syah digantikan oleh anaknya Sultan Mansur Syah (1691-1696), pada masa pemerintahannya muncul ketidakpuasan rakyat atas penerapan cukai yang tinggi serta dominasi monopoli dagang VOC kembali. Namun pada tahun 1696 Sultan Mansur Syah meninggal dunia dan digantikan oleh Raja Pesisir, yang baru berusia 6 tahun dan pemerintahannya berada dibawah perwalian neneknya. Puncak perlawanan rakyat Inderapura menyebabkan hancurnya pos VOC di Pulau Cingkuak, sebagai reaksi terhadap serbuan itu, tanggal 6 Juni 1701 VOC membalas dengan mengirim pasukan dan berhasil mengendalikan Inderapura.

Dan akhirnya pada tahun 1792 inderapura benar-benar runtuh ketika garnisun VOC di Air Haji menyerbu Inderapura karena pertengkaran komandannya dengan Sultan Inderapura, kemudian Sultan Inderapura mengungsi ke Bengkulu dan meninggal di sana (1824).

Sistem Pemerintahan

Inderapura pada awalnya adalah kawasan rantau dari Minangkabau, merupakan kawasan pesisir di pantai barat Pulau Sumatera. Sebagai kawasan rantau, Inderapura dipimpin oleh wakil yang ditunjuk dari Pagaruyung dan bergelar Raja kemudian juga bergelar Sultan. Raja Inderapura diidentifikasikan sebagai putra Raja Alam atau Yang Dipertuan Pagaruyung.

Kesultanan Indrapura memakai sistem kabinet parlementer, dipimpinan tertinggi Sultan (Raja), dilaksanakan oleh Perdana Mentri (Mangkubumi) dibantu Menteri Nan-20 dari para penghulu (6 di Hulu, 8 di tengah, 6 di Hilir). Raja-raja Kesultanan Indrapura banyak sekali, di antaranya keturunan asli Indrapura.

Wilayah kekuasaan

Pada akhir abad ke-17 pusat wilayah kekuasaan Inderapura, mencakup lembah sungai Airhaji dan Batang Inderapura yang terdiri atas dua puluh koto. Masing-masing koto diperintah oleh seorang menteri, yang berfungsi seperti penghulu di wilayah Minangkabau lainnya. Sementara pada daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai Negeri Empat Belas Koto), dan Muko-muko (Lima Koto), sistem pemerintahannya tidak jauh berbeda.

1. Kawasan utara
Wilayah kekuasan ini disebut dengan Banda Sapuluah (Bandar Sepuluh) yang dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai). Kawasan ini merupakan semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang juga masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu.

2. Kawasan Selatan
Sistem pemerintahan yang terdiri dari desa-desa berada di bawah wewenang peroatin (kepala yang bertanggung jawab menyelesaikan sengketa di muara sungai). Peroatin ini pada awalnya berjumlah 59 orang (peroatin nan kurang satu enam puluh). Para menteri dan peroatin ini tunduk pada kekuasaan raja atau sultan.

Pada penghujung abad ke-17 para peroatin masih berfungsi sebagai kepala wilayah. Namun tugas-tugas menteri mulai bergeser seiring dengan proses terlepasnya Inderapura menjadi kerajaan terpisah dari Pagaruyung. Menteri Dua Puluh Koto di Inderapura bertindak sebagai penasihat kerajaan. Menteri Empat Belas Koto bertugas mengatur rumah tangga istana, sedangkan Menteri Lima Koto bertanggung jawab atas pertahanan.

Daftar Raja Inderapura

Berikut adalah daftar Raja Inderapura:

  1. Sultan Munawar Syah dengan gelar Raja Mamulia (1550)
  2. Raja Dewi nama lainnya adalah Putri Rekna Candra Dewi (1580)
  3. Raja Itam (1616)
  4. Raja Besar (1624)
  5. Raja Putri nama lainnya adalah Putri Rekna Alun (1625)
  6. Sultan Muzzaffar Syah dengan gelar Raja Malfarsyah (1633)
  7. Sultan Muhammad Syah dengan gelar Raja Adil (1660)
  8. Sultan Mansyur Syah dengan gelar Sultan Gulemat beliau adalah putra Raja Adil (1691)
  9. Raja Pesisir (1696)
  10. Raja Pesisir II (1760)
  11. Raja Pesisir III (1790)

Peninggalan Sejarah

Bukti sejarah kebesaran Kesultanan Indrapura, tercatat 218 situs dari 7000 situs di Sumatera Barat. 44 situs diakui Cagar Budaya dan dikukuhkan Mendikbud RI. Di antaranya : 
  1. Bekas istana Raja/ Sultan (1824),
  2. Bekas istana Regen di Pasar Minggu dekat peninggalan meriam R.Gil Pin FE CIT.J768,
  3. Rumah Mangkubumi (perdana menteri) Kesultanan,
  4. Rumah Gadang Mandeh Rubiyah di Lunang, berfungsi museum penyimpan benda-benda peninggalan Bundo Kandung seorang raja putri Kerajaan Minangkabau yang mengirap (berjalan punya etape tertentu) kembali ke Lunang dari Kerajaan Pagaruyung pasca kalah perang melawan raja Tamiai Tiang Bungkuk (1520). Diakui Mendiknas sebagai Museum Lokal Sumatera Barat di Pesisir Selatan. Juga berfungsi tempat kediaman Mandeh Rubiyah Rakina (keturunan ke-7 dari Bundo Kandung).
  5. Situs dalam bentuk arsitektur sakral (imarah diniyah) wujud Masjid Agung (1850) masa Regen ke-2 Marah Ripin.
  6. Gobah komplek pemakaman raja-raja Kesultanan Indrapura seluar 0,5 Ha. (6) Makam raja Tuanku Badarah Putih.
  7. Makam Bundo Kandung (Salareh Pinang Masak, raja perempuan Pagaruyung),
  8. Makam Dang Tuanku,
  9. Makam Puti Bungsu istri Dang Tuanku.
  10. Makam Cindur Mato raja dan tokoh legendaries Minang

Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Inderapura diakses tanggal 26 juli 2014
https://www.facebook.com/permalink.php?id=262528650500473&story_fbid=438095499610453 diakses tanggal 26 juli 2014

http://lubukgambir.wordpress.com/2011/12/16/kesultanan-inderapura-sejak-abad-9-m/ diakses tanggal 26 juli 2014

0 Response to "Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Inderapura"

Post a Comment

Tinggalkan Komentar Anda

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel