Sejarah Perkembangan Islam di Kepulauan Bangka Belitung

Masjid Jami Pangkalpinang - sejarah perkembangan islam di bangka belitung
Pulau Bangka sebelumnya termasuk dalam kekuasaan kerajaan Islam (Kesultanan Palembang), namun pulau di tenggara Sumatera ini merupakan daerah peripherial (pinggiran).Pulau ini hampir tidak mendapat perhatian penguasa saat era kerajaan Sriwijaya (abad ke 7 - 13 M) dan kerajaan Majapahit (akhir abad 13 M), karena dianggap tidak memiliki sumber daya alam potensial, namun sejak temuan timah yang berlimpah di Bangka serta ekspansi kerajaan Malaka ke wilayah Sumatera Selatan, Bangka Belitung mulai dilirik.
Proses Masuknya Islam ke pulau Bangka tidak terlepas dari unsur masuknya kesultanan Johor, kerajaan Minangkabau, dan Banten. Kaum saudagar yang berlayar dari dan ke selat Malaka singgah dan memenuhi stok air bersih di Pulau Bangka. Daya tarik penguasa terus berlanjut pada masa Kesultanan Palembang, VOC dan masa pemerintahan kolonial Belanda.

Islam masuk dan berkembang di Pulau Bangka terjadi dalam tiga fase.
1. Pertama, fase de komst (datang) dipengaruhi oleh motif ekonomi
2. kedua, fase receptie (penerimaan) didorong oleh motif agama
3. ketiga fase uitbreiding (pengembangan) didorong oleh motif politik.

Islamisasi oleh pedagang Islam terjadi melalui kontak paling awal antara Islam dengan daerah-daerah pesisir pantai Sumatera seperti Peurlak (Aceh) dan Samudera (Sumatera Utara). Kontak awal  tersebut melalui pernikahan pedagang muslim dengan penduduk setempat, sehingga terbentuklah komunitas muslim. 

Penyebaran Islam di Bangka Belitung (khususnya di Pulau Bangka) baru teridentifikasi pada abad XVI yang dibuktikan dengan  kedatangan Sultan Johor dan Panglima Perang Tuan Sarah serta Raja Alam Harimau Garang dari Minangkabau yang mengemban misi untuk menumpas bajak laut (lanun/lanon) sekaligus menyebarkan Agama Islam yang berkedudukan di Bangka kota dengan mengangkat Panglima Sarah sebagai Raja Muda di Pulau Bangka. Kemudian dilanjutkan dengan priode ulama Banten yang berakhir pada sekitar separuh lebih dari abad XVII atau sejak wafatnya Bupati Nusantara pada tahun 1671.

Selanjutnya, penyebaran dan dakwah Islam di Pulau Bangka kemudian dilanjutkan oleh Kesultanan Palembang yang pada saat itu dipimpin oleh Sultan Abdurrahman, menantu Bupati Nusantara. Sampai di periode ini (Kesultanan Palembang) penyebaran Islam berlangsung lamban karena hampir dari seluruh sultan Palembang lebih terfokus pada eksploitasi bijih timah ketimbang secara intensif menyebarkan Islam di Pulau Bangka.

Babak baru penyebaran Islam di Pulau Bangka baru terjadi atau diperkirakan berlangsung sekitar pertengahan abad XIX. Disebut sebagai babak baru karena upaya penyebaran Islam secara intensif dilakukan ke hampir seluruh Pulau Bangka bermula pada pertengahan abad XIX. Pada priode ini, ulama Banjar (Kalimantan Selatan) memegang peranan penting, karena mereka inilah yang konon disebut-sebut sebagai ulama paling berpengaruh ‘mewarnai’ Islam di Pulau Bangka. Mengenai kapan tahun kedatangan pertama ulama-ulama Banjar ke Pulau Bangka belum diperoleh data yang pasti.

Dalam makalah berjudul Islamisasi di Bangka  ditulis oleh Ketua STAIN SAS Bangka Belitung, Drs Zulkifli Harmi MA, dalam Seminar Nasional Sejarah Masuknya Islam di Bangka Belitung, memaparkan salah seorang ulama Banjar yang tercatat mendatangi sekaligus menyebarkan Islam di Pulau Bangka adalah KH Muhammad Afif keturunan ketiga (cicit) Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari ulama Banjar yang paling berpengaruh dan pengarang kitab fiqih Sabil al Muhtadin yang tersohor itu. Kemungkinan besar, H Muhammad Afif yang tidak lain adalah ayah dari Syaikh Abdurrahman Siddik ini datang ke Pulau Bangka tepatnya di Muntok pada dekade setelah 1860-an.

Dakwah Islam di Pulau Bangka yang dilakukan oleh ulama Banjar pada pertengahan abad XIX atau sekitar tahun 1860-an, berawal dari peristiwa jatuhnya Kesultanan Banjar di tangan pemerintah Hindia Belanda sekitar tahun 1859. Hegemoni kekuasaan kolonial pada masa itu tidak saja meruntuhkan Kesultanan Banjar secara politik maupun ekonomi, namun turut pula menciptakan kekacauan dan rasa tidak aman bagi rakyat Banjar. Khususnya para ulama dan orang-orang kesultanan yang tidak mau tunduk dengan pemerintah Belanda,  terus dikejar dan dibunuh.

Berdasarkan catatan Zulkifli, runtuhnya Kesultanan Banjar yang sebelumnya telah menggantikan kedudukan Kesultanan Palembang sebagai pusat kebudayaan dan intelektual Islam di nusantara  akibat pendudukan pemerintah Hindia Belanda ini, membawa pengaruh yang besar terhadap perkembangan Islam di Bangka. Rasa tidak aman rakyat Banjar dan ulama-ulamanya akibat penindasan pemerintah Hindia Belanda ini, membuat sebagian mereka memilih meninggalkan tanah kelahiran mereka (hijrah). Salah satu tempat yang dipilih untuk hijrah dan bermukim adalah Pulau Bangka. Pada masa itu tercatat nama H Muhammad Afif bersama istri mudanya Sofiyah binti H Muhammad Qasim dan tiga orang putranya, memilih bermukim di salah satu tempat yang strategis di Pulau Bangka yakni Kota Muntok. 
Alasan mengapa H Muhammad Afif memilih melakukan penyebaran atau dakwah Islam di Pulau Bangka, tidak mendapat penjelasan rinci dalam Seminar Sejarah Masuknya Islam di Bangka Belitung.  Namun boleh jadi kedatangan H Muhammad Afif ini disebabkan karena wilayah Pulau Bangka pada masa itu masih terbilang aman dari penindasan kolonial (Belanda). Tidak seperti di Banjar dimana pada saat itu para ulama dan orang-orang yang terkait dengan Kesultanan Banjar diuber-uber bahkan dibunuh oleh Belanda. Tidak menutup kemungkinan pula kalau kedatangan H Muhammad Afif di Pulau Bangka adalah untuk meneruskan dakwah Islam yang sebelumnya sudah dilakukan oleh sejumlah ulama Banjar terdahulu. Kemungkinan seperti ini (melanjutkan dakwah ulama-ulama terdahulu) bisa saja terjadi mengingat masih banyak ulama-ulama penyebar Islam pada fase awal masuknya Islam di Pulau Bangka yang  diyakini belum  tercantum dalam data dan garapan tentang sejarah Islam di Bangka Belitung.

Salah satunya adalah Atok Ning (Ningrat?) ulama Banten yang menyebarkan Islam di Bangka yang  wafat dan dimakamkan di Desa Air Duren Kecamatan Mendobarat. Oleh sebagian orang, ulama yang satu ini disebut-sebut sebagai ulama pertama yang melakukan dakwah Islam di Mendobarat sekaligus sebagai penggagas dan pendiri masjid pertama untuk melaksanakan Sholat Jumat di Mendobarat yang sekarang bernama Masjid Mardhiatul Jannah di Desa Air Duren. Namun belum ditemukan data akurat apakah Atok Ning melakukan dakwah Islam di Air Duren ini sebelum  masuknya Kesultanan dan Ulama Banten di Pulau Bangka ataukah sesudahnya. Kemungkinan seperti ini bisa pula terjadi pada ulama-ulama Banjar yang menyebarkan Islam di Pulau Bangka.

Seperti ulama-ulama sebelumnya, selama menetap di Muntok H Muhammad Afif gencar melakukan dakwah Islam. Di zaman itu, nama ulama ini pun makin tersohor di wilayah Pulau Bangka. Bahkan, menurut Zulkifli, berkat kerja keras  KH Muhammad Afif inilah yang membuat proses islamisasi di Bangka berlangsung cepat di masa itu.

Di penghujung abad XIX atau sekitar tahun 1898-1899, salah seorang putra H Muhammad Afif yakni Syaikh Abdurrahman Siddik datang ke Muntok dan menggantikan posisi ayahnya mengajarkan pendidikan Islam dan dakwah  di  Muntok.

Kedatangan ulama yang membawa ajaran tarekat Samaniah dengan salah satu karya yang terkenal yakni Amal Ma’rifat  ini, belakangan, sangat memberi pengaruh besar terhadap pertumbuhan Islam di Bangka Belitung pada priode itu bahkan hingga sekarang.

Perkembangan Islam di pulau Bangka akhir abad 19 dan awal 20 ditandai dengan munculnya ulama kharismatik, Syaikh Abdurrahman Siddik yang disebut-sebut sebagai tokoh peletak fundamental pengembangan ajaran Islam.

Hasil penelusuran dari beberapa literatur dan keterangan yang disampaikan secara lisan, kedatangan Syaikh Abdurrahman Siddik ke Pulau Bangka setidaknya mengemban dua misi. Pertama untuk bersilaturrahmi kepada ayahnya H Muhammad Afif dan  menyebarkan dakwah serta pendidikan Islam sebagai salah satu jihad dan kekuatan melawan kolonialisme pada masa itu.
Dakwah yang dilakukan Syaikh Abdurrahman Siddik tidak saja terpusat di Muntok. Selanjutnya meluas hingga  Kundi, Kotawaringin, Pudingbesar, Mendobarat (yang berpusat di Kemuja), Sungaiselan, Belinyu dan sejumlah tempat lainnya.

Selain merujuk pada kitab-kitab yang dipelajari dari guru-gurunya, Syaikh Abdurrahman Siddik juga aktif menulis kitab sebagai bahan ajar. Setidaknya, selama berada di Bangka, menurut Zulkifli, Syaikh Abdurrahman Siddik telah menulis sembilan kitab masing-masing Jadwal Sifat Dua Puluh dan Tadzkirah li Nafs wa li Amsal yang ditulis di Belinyu, Pelajaran Kanak-kanak ditulis di Kemuja, Syarah Sittin Masalah dan Jurumiyah di Sungaiselan, Asrar al-Shalah min Iddah Kutub  al-Mu’tamaddah, Syair Ibrah dan Khabar Qiyamah di Muntok serta Fath al-Alim fi Tartib al-Ta’lim di Kundi. Kebanyak kitab-kitab tersebut  dicetak di Mathba’ah Ahmadiyah Singapura.

Berdasarkan sejumlah keterangan lisan, untuk lebih memperdalam ilmu agama yang telah ia ajarkan, Syaikh Abdurrahman Siddik menganjurkan murid-muridnya (khususnya di Kemuja) untuk menuntut ilmu (naon) di Mekkah. Mereka inilah (murid-murid Syaikh Abdurrahman Siddik yang naon di Mekkah) yang nantinya akan melanjutkan dakwah dan ajaran Syaikh Abdurrahman Siddik di Desa Kemuja yang dikemas dan dikelola dalam bentuk madrasah (warga setepat menyebutnya dengan sebutan Sekolah Arab) hingga menjadi pesantren yakni Pesantren Al Islam Kemuja.

Sekitar tahun 1912 M, Syaikh Abdurrahman Siddik meninggalkan Pulau Bangka dan melanjutkan dakwah Islam ke beberapa tempat di Sumatera hingga wafatnya di Riau tepatnya di Kampung Hidayat, Sapat, Indragiri tahun 1939. Sedangkan dakwah Islam yang diajarkan beliau selama di Bangka terus dikembangkan oleh para murid dan keturunannya sehingga dikenal luas seantereo Bangka Belitung.
Hingga menjelang pertengahan abad XX atau sekitar dekade 1940-an, dakwah dengan sistem pengajian di rumah-rumah penduduk oleh ulama Banjar, masih berlangsung di Pulau Bangka. Salah satu ulama  dimaksud yakni KH Mansyur Al Banjari yang menetap di Desa Petaling Kecamatan Mendobarat.


Sumber referensi :
http://aladamyarrantawie.blogspot.com/2012/12/islam-di-bangka-petaling-belitung.html
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/ramadan/ramadan_detail/2013/07/10/54479/Lewat-Dagang-dan-Penumpasan-Lanun-Islamisasi-di-Bangka

sumber foto :
www.republika.co.id  


2 Responses to "Sejarah Perkembangan Islam di Kepulauan Bangka Belitung"

  1. aagama Islam telah berkembang menjadi agama yang dominan di bangka belitung, banyak ulama bagus yang menetap disana an mengajarkan ilmu ilmu agama secara lebih mendalam, support aja deh ya

    ReplyDelete

Tinggalkan Komentar Anda

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel